KotaSantri.com : Tidak semua perjalanan menuju le jenjang pernikahan mulus, awalnya ada perbedaan persepsi/pandangan antara keinginan anak dan keinginan orang tua, sehingga tak jarang pernikahan yang akan diarungi membutuhkan perjuangan. Bagaimana pernikahan itu dapat diwujudkan, merupakan keputusan yang harus dipikirkan masak-masak oleh seorang muslimah karena menyangkut aspek diri dan keluarganya.
Hal di atas bisa terjadi disebabkan sudut pandang antara anak dan orang tua tidak sejalan, mungkin akibat pola asuh orang tua yang tidak membiasakan keterbukaan sehingga anak tertutup, takut berkomunikasi sehingga dirasakan enak untuk menyampaikan keinginan masing-masing, kurangnya pengetahuan agama masing-masing pihak, dan lain-lain. Kita lihat perbedaan pilihan keputusan dua orang akhwat di bawah ini dalam menyikapi orang tuanya.
Nina (19 tahun), baru duduk di bangku awal kuliah. Ia memilih memutuskan akan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua, mengikuti ajakan teman kuliahnya. Mereka memperkirakan pernikahan tersebut pasti ditentang orang tua karena masih sama-sama kuliah dan tergantung pada biaya orang tua.
Lain lagi sikap Tia (23 tahun), masih kuliah semester akhir. Walaupun ia ingin mewujudkan keingnannya untuk menikah, ia merasa harus bersikap lebih adaptif dengan orang tua. Masih mencoba untuk menyampaikan pandangannya tentang status/kemampuan calonnya. Ia tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan tanpa mencoba terlebih dahulu terbuka pada orang tua dengan menyampaikan sebijak mungkin dan dengan segala sikap hormat.
Ada masa pendekatan kepada orang tua, sambil mengisinya dengan instropeksi diri serta mencari celah dalam mencari jalan keluarnya agar terwujud niat nikah untuk ibadah sekaligus berbakti kepada orang tua. Sehingga semuanya akan bernilai ibadah. Tertundanya pernikahan dapat digunakan untuk instropeksi kesiapan masing-masing calon. Ikhlas menunda pernikahan untuk menunggu restu orang tua sampai selesai kuliah sambil menghindari perzinahan, tampaknya merupakan pilihan yang tepat.
Bakti Kepada Orang Tua
Sadarilah, keputusan apaun yang Anda tempuh, akan terdapat risiko di dalamnya. Al Qur'an dan sunnah telah menggariskan bahwa setiap anak harus selalu berbakti kepada orang tua, apapun kondisi dan hubungannya dengan mereka. Betapa tingginya kedudukan orang tua di hadapan Allah. Allah menjadikan berbuat baik (ihsana) kepada keduanya setelah kedudukan iman dan beribadah kepada-Nya. "Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada orang tua..." (QS. An Nisa : 36).
Al Qur'an menggunakan kata ihsana sebanyak lima kali dalam konteks berbakti kepada orang tua, QS. Al Baqarah [2] : 83, An Nisa [4] : 36, Al An'am [6] : 151, Al Isra [17] :23 dan Al Ahqaf [46] : 15 dan menggunakan kata husn sekali dalam QS. Al Ankabut [29] : 8 untuk menggambarkan kewajiban anak kepada ibu bapaknya. Kata husn mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi . Dirumuskan oleh pakar kosakata, Al Raghib Al Asfahani, ihsaan memperlakukannya (orang tua) lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda, memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit daripada yang seharusnya Anda ambil.
Kemudian seorang anak dituntut untuk berbicara kepada orang tuanya dengan kata-kata yang oleh Al Qur'an dinamai 'karima'. "Wa qullahumaa qaulan karima' (QS. Al Isra [17] : 23). Menurut pakar-pakar bahasa, kata ini mengandung makna yang mulia (terbaik sesuai objeknya). Bila karima dikaitkan dengan akhlak terhadap orang lain, maka ia bermakna pemaafan.
Segala macam yang terbaik dan termulia harus menghiasi setiap kata yang diucapkan kepada orang tua. Kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu kesalahan kepada anak, kesalahan itu harus dianggap tidak ada dan dimaafkan, karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk kepada anaknya. Demikian makna karima yang dipesankan ketika seorang anak menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya.
Sadarilah, keputusan apaun yang Anda tempuh, akan terdapat risiko di dalamnya. Al Qur'an dan sunnah telah menggariskan bahwa setiap anak harus selalu berbakti kepada orang tua, apapun kondisi dan hubungannya dengan mereka. Betapa tingginya kedudukan orang tua di hadapan Allah. Allah menjadikan berbuat baik (ihsana) kepada keduanya setelah kedudukan iman dan beribadah kepada-Nya. "Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada orang tua..." (QS. An Nisa : 36).
Al Qur'an menggunakan kata ihsana sebanyak lima kali dalam konteks berbakti kepada orang tua, QS. Al Baqarah [2] : 83, An Nisa [4] : 36, Al An'am [6] : 151, Al Isra [17] :23 dan Al Ahqaf [46] : 15 dan menggunakan kata husn sekali dalam QS. Al Ankabut [29] : 8 untuk menggambarkan kewajiban anak kepada ibu bapaknya. Kata husn mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi . Dirumuskan oleh pakar kosakata, Al Raghib Al Asfahani, ihsaan memperlakukannya (orang tua) lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda, memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit daripada yang seharusnya Anda ambil.
Kemudian seorang anak dituntut untuk berbicara kepada orang tuanya dengan kata-kata yang oleh Al Qur'an dinamai 'karima'. "Wa qullahumaa qaulan karima' (QS. Al Isra [17] : 23). Menurut pakar-pakar bahasa, kata ini mengandung makna yang mulia (terbaik sesuai objeknya). Bila karima dikaitkan dengan akhlak terhadap orang lain, maka ia bermakna pemaafan.
Segala macam yang terbaik dan termulia harus menghiasi setiap kata yang diucapkan kepada orang tua. Kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu kesalahan kepada anak, kesalahan itu harus dianggap tidak ada dan dimaafkan, karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk kepada anaknya. Demikian makna karima yang dipesankan ketika seorang anak menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya.
Aturan Nikah
Pernikahan harus segera dilaksanakan apabila takut tergelincir pada perzinahan sambil tetap mewujudkan harapan orang tua (menyelesaikan kuliah) agar orang tua tidak kecewa. Caranya, minimal anak terikat hukum agama terlebih dahulu lewat pernikahan. Yang perlu diperhatikan, jangan sampai kedua-duanya terhambat atau berantakan (baik kuliah ataupun nikah).
Alternatif lainnya adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, "Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu menikah (untuk membelanjai), hendaklah ia menikah, karena itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat benteng/perisai". (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga pergaulan, jangan sampai mendekati perzinahan (QS. Al Isra : 32), yaitu dengan menjaga pandangan, menjaga fariji, menjaga aurat, (QS. An Nur [24] : 30 - 31), tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim (HR. Bukhari), tidak berkhalwat/berdua-duaan (HR. Ahmad), tidak bepergian kecuali dengan muhrimnya (HR. Bukhari dan muslim).
Orang tua akan merasa sedih bila tidak mengetahui anaknya menikah. Anak perlu menghargai perjuangan orang tua yang telah belasan tahun membesarkan, membiayai kuliah, dan lain-lain. Sangat disayangkan bila pernikahan yang bertujuan positif yaitu untuk menghindari zina, tapi berdampak durhaka kepada orang tua.
Beban mental pasti akan dirasakan oleh pasangan yang tidak mendapat restu dari orang tua. Misalkan pada saat susahnya melahirkan anak, akan tergambar dalam benak seorang anak tentang perjuangan ibunya dahulu, "Ibunya telah mengandungnya dalam keadaa nlemah yang bertambah-tambah dan meyapihnya dalam dua tahun". (QS. Luqman [31] :14). Ternyata, betapa panjang dan banyaknya pengorbanan sebagai orang tua.
Mengenai menikah diam-diam tanpa dihadiri wali yang sah dari seorang muslimah, Islam menggariskan sejumlah ketentuan berikut :
Seorang wanita tentunya akan dinikahkan oleh walinya sebagaimana keterangan hadits "Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : "Tidak sah nikah tanpa wali". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim serta dishahihkan oleh keduanya). Hadits ini secara tegas mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa wali tidak sah. Adapun syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat, dewasa/baligh, dan beragama Islam.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pernikahan yang diwalikan oleh wanita sendiri adalah tidak sah. Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musrik sebelum mereka beriman". (QS. Al Baqarah [2] : 2210. Kandungan ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan perkara pernikahan kepada pihak pria dan bukan kepada kaum wanita.
Siapakah wali itu? Jumhur ulama seperti Malik, Tsauri, Laits, dan Syafi'i, berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris dari jalur ayah. Syafi'i berkata, "Nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan, kecuali dengan pernyataan wali qarib (dekat). Jika ia tidak ada, dengan wali yang jauh. Dan jika tidak ada, dengan hakim.
Urutan wali menurut Syafi'i, sebagai berikut : Ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki ayah (paman), kemudian anak laki-laki paman, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian hakim.
Pernikahan harus segera dilaksanakan apabila takut tergelincir pada perzinahan sambil tetap mewujudkan harapan orang tua (menyelesaikan kuliah) agar orang tua tidak kecewa. Caranya, minimal anak terikat hukum agama terlebih dahulu lewat pernikahan. Yang perlu diperhatikan, jangan sampai kedua-duanya terhambat atau berantakan (baik kuliah ataupun nikah).
Alternatif lainnya adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, "Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu menikah (untuk membelanjai), hendaklah ia menikah, karena itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat benteng/perisai". (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga pergaulan, jangan sampai mendekati perzinahan (QS. Al Isra : 32), yaitu dengan menjaga pandangan, menjaga fariji, menjaga aurat, (QS. An Nur [24] : 30 - 31), tidak bersentuhan dengan yang bukan muhrim (HR. Bukhari), tidak berkhalwat/berdua-duaan (HR. Ahmad), tidak bepergian kecuali dengan muhrimnya (HR. Bukhari dan muslim).
Orang tua akan merasa sedih bila tidak mengetahui anaknya menikah. Anak perlu menghargai perjuangan orang tua yang telah belasan tahun membesarkan, membiayai kuliah, dan lain-lain. Sangat disayangkan bila pernikahan yang bertujuan positif yaitu untuk menghindari zina, tapi berdampak durhaka kepada orang tua.
Beban mental pasti akan dirasakan oleh pasangan yang tidak mendapat restu dari orang tua. Misalkan pada saat susahnya melahirkan anak, akan tergambar dalam benak seorang anak tentang perjuangan ibunya dahulu, "Ibunya telah mengandungnya dalam keadaa nlemah yang bertambah-tambah dan meyapihnya dalam dua tahun". (QS. Luqman [31] :14). Ternyata, betapa panjang dan banyaknya pengorbanan sebagai orang tua.
Mengenai menikah diam-diam tanpa dihadiri wali yang sah dari seorang muslimah, Islam menggariskan sejumlah ketentuan berikut :
Seorang wanita tentunya akan dinikahkan oleh walinya sebagaimana keterangan hadits "Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : "Tidak sah nikah tanpa wali". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim serta dishahihkan oleh keduanya). Hadits ini secara tegas mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa wali tidak sah. Adapun syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal sehat, dewasa/baligh, dan beragama Islam.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pernikahan yang diwalikan oleh wanita sendiri adalah tidak sah. Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musrik sebelum mereka beriman". (QS. Al Baqarah [2] : 2210. Kandungan ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan perkara pernikahan kepada pihak pria dan bukan kepada kaum wanita.
Siapakah wali itu? Jumhur ulama seperti Malik, Tsauri, Laits, dan Syafi'i, berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris dari jalur ayah. Syafi'i berkata, "Nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan, kecuali dengan pernyataan wali qarib (dekat). Jika ia tidak ada, dengan wali yang jauh. Dan jika tidak ada, dengan hakim.
Urutan wali menurut Syafi'i, sebagai berikut : Ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki ayah (paman), kemudian anak laki-laki paman, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian hakim.
Akhirnya, yakinlah bahwa niat yang baik dan ditempuh dengan jalan/metode yang benar sesuai aturan Al Qur'an dan sunnah, akan membuahkan hasil berupa dimudahkannya pernikahan Anda atas ridha-Nya. "... Siapa yang bertaqwa kepada Allah, Allah akan memberinya jalan keluar dari kesulitannya, dan memberinya rizki dari arah yang tidak diduga. Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya..." (QS. Ath Thalaq [65] : 2 - 3). Wallahu A'lam Bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar