Langkah yang ditempuh putrid Nabi Syuaib ini merupakan langkah tepat untuk berkompromi dengan orang tuanya. Dengan langkah tersebut, keinginannya untuk mendapatkan laki-laki idamannya terpenuhi dan kehendak orang tua juga terlaksana karena calon yang diajukannya benar-benar sesuai dengan persyaratan agama.
Masyarakat dan syariat Islam memandang bahwa mengusulkan jodoh kepada orang tua sebagaimana yang dilakukan putrid Nabi Syuaib bukanlah langkah tercela. Langkah ini telah ditempuh oleh keluarga terhormat (keluarga Nabi Syuaib) sebagaimana diuraikan oleh Allah di dalam Alquran. Hal ini dimaksudkan memberi pelajaran bagi umat Islam bahwa mereka dapat menempuh langkah ini untuk mendapatkan jodoh. Anak perempuan yang menginginkan seorang laki-laki dapat mengusulkan kepada orang tuanya agar meminta lelaki yang bersangkutan menjadi suaminya. Demikian halnya anak laki-laki, ia bisa mengusulkan calon istri kepada orang tuanya.
Langkah mengusulkan jodoh kepada orang tua mencerminkan bahwa seorang anak tetap menghargai turut campurnya orang tua dalam memilihkan jodoh untuk dirinya. Langkah ini mengisyaratkan adanya hak anak untuk menentukan calon suami atau calon istrinya tanpa mengesampingkan orang tua. Dengan langkah ini, titik temu antara kepentingan orang tua dan anak dalam memilih jodoh dapat diperoleh. Adanya kemerdekaan atau kebebasan anak dan orang tua dalam menyatakan keinginan dan pendapatnya menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Hal ini memberi pelajaran kepada segenap orang tua muslim bahwa pendapat dan penilaian putra-putrinya dalam memilih jodoh harus dihargai.
Dalam mengusulkan jodoh kepada orang tuanya, anak harus memiliki persamaan pedoman dengan orang tua agar tercapai keinginannya. Keduanya harus ikhlas dan memiliki kesungguhan untuk mematuhi ketentuan agama untuk menghindari munculnya perselisihan yang menimbulkan permusuhan antara orang tua dan anak dalam usaha mendapatkan jodoh.
Sebaliknya, terhadap calon yang diusulkan anak, orang tua hendaknya melakukan pengenalan dan penelitian tentang akhlak dankualitas keislamannya. Bila calon yang diajukan memenuhi syarat yang digariskan agama, tidak ada alasan bagi mereka untuk mempersulit atau menolaknya.
Ringkasnya, perempuan atau laki-laki, yang tidak mengingainkan terjadinya konflik dengan orang tuanya saat memilih jodoh, dapat menempuh langkah seperti yang dilakukan oleh putri Nabi Syuaib.
(II): Memilih Sendiri atau Menanti Pinangan Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh, “Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab, “Baiklah.” Ia berkata, “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR Bukhari). “c dan tidak berdosa kamu meminang wanita-wanita itu dengan sendirian atau kamu menyembunyikan (keinginan menikahi mereka) dalam hatimu c.” (Al-Baqarah: 235).
Hadis di atas menerangkan bahwa Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah saw. datang kepada Ummu Hakim, salah seorang perempuan sahabat Nabi saw. Kepada perempuan itu Abdurrahman bin Auf meminta untuk menyerahkan urusan mencari calon suami dan pernikahannya kepada dirinya. Ummu Hakim kemudian menyerahkan hal itu kepada Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman pun mengatakan kepada Ummu Hakim bahwa dia sendiri yang menikahinya.
Hadis di atas menjelaskan bahwa Abdurrahman memilih sendiri Ummu Hakim sebagai istrinya dan tidak dijodohkan atau dipilihkan orang lain.
Seseorang yang ingin menikah dibenarkan oleh Islam mencari sendiri calonnya, bahkan boleh menikahkan dirinya sendiri kepada perempuan yang dinikahinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf. Pernikahan seperti ini sah karena perbuatan Abdurrahman tidak pernah disalahkan oleh para sahabat atau Nabi saw.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seorang perempuan yang ingin menikah boleh berlaku pasif untuk mendapatkan jodohnya. Ia menanti pinangan seorang laki-laki yang datang bermaksud menjadikan dirinya sebagai istri.
Seorang perempuan yang menanti pinangan haruslah tetap menjaga ketentuan agama mengenai sifat laki-laki yang baik menjadi suami. Ini bertujuan supaya kelak ia tidak terjerumus ke dalam kehidupan rumah tangga yang merugikan dirinya. Ia tidak seharusnya tergesa-gesa menerima pinangan sebelum melakukan penelitian dengan baik dan melakukan istikharah serta minta pertimbangan kepada orang-orang yang jujur. Selain itu, dalam masa penantian, ia perlu berdoa dan melakukan ibadah sunah, seperti puasa Dawud, bersedekah, dan salat hajat agar diberi kemudahan oleh Allah dalam mendapatkan jodoh.
Islam membenarkan seseorang memilih sendiri calon suami atau calon istrinya. Cara ini sudah berjalan berabad-abad dan tetap dipertahankan oleh Islam sebagai tatanan yang benar. Sebaliknya, wanita dibenarkan menanti pinangan dari seorang laki-laki. Oleh karena itu, tidaklah tercela seorang perempuan bersikap pasif dalam mencari jodoh, karena hal tersebut juga tidak terlarang oleh Islam. (III): Menerima Pilihan Orang Tua Dari Aisyah, ia berkata, “Telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah saw., lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, ayah saya telah menikahkan saya dengan keponakannya agar dapat meringankan beban dirinya.’ Maka, beliau menyerahkan urusan ini kepadanya. Perempuan itu lalu berkata, ‘Saya benarkan apa yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa para bapak tidak mempunyai hak sedikit pun dalam urusan ini’.” (HR Ahmad). Hadis di atas mengisahkan seorang ayah yang menjodohkan putrinya denganlelaki pilihannya. Perempuan tersebut kemudian mengadukan kejadian itu kepada Rasulullah saw. Beliau akhirnya menyerahkan penyelesaian masalah itu kepadanya. Ia ternyata bersedia menerima lelaki pilihan orang tuanya untuk dijadikan suami. Tetapi, di hadapan orang banyak dia ingin menyatakan bahwa menjodohkan anak–seperti yang terjadi pada dirinya–bukan hak mutlak orang tua. Artinya, jika anak menolak, orang tua tidak boleh memaksa. Sikap ini dibenarkan oleh Rasulullah saw.
Kasus yang terdapat dalam hadis di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa salah satu langkah mendapatkan jodoh ialah menerima pilihan orang tua. Pernikahan seorang perempuan atau laki-laki dengan pasangan yang dipilihkan orang tuanya sah menurut Islam. Oleh karena itu, seorang perempuan atau laki-laki yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua tidak perlu merasa hak-haknya diabaikan. Islam mengakui bahwa setiap orang bebas mendapatkan jodoh yang diinginkannya. Akan tetapi, ternyata yang bersangkutan tidak mampu mendapatkannya, sedangkan orang tua dapat mengusahakan, Islam membenarkan anak menerima pilihan orang tuanya.
Anak, perempuan atau laki-laki, yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua hendaklah menanggapi secara baik. Jika calon tersebut memenuhi criteria dan syarat yang digariskan Islam, hendaklah ia lebih mengutamakan pilihan orang tua daripada menantikan yang tidak pasti. Pada awalnya mungkin sekali anak tidak tertarik kepada pilihan orang tua, namun ia bisa mengamati kelebihan calon pasangannya sebagai daya tariknya.
Banyak anak, perempuan maupun laki-laki, lebih mementingkan pilihannya sendiri hanya karena pilihan orang tua sepintas dipandang kurang cocok di hatinya, bukan karena yang bersangkutan tidak memenuhi criteria dan syarat yang digariskan oleh Islam. Akibatnya, calon yang diharapkannya tidak kunjung muncul sehingga sangat terlambat baginya untuk berumah tangga.
Oleh karena itu, seseorang bisa mendapatkan jodoh dengan menerima pilihan orang tua. Selama calon yang diajukan oleh orang tua memenuhi criteria yang digariskan oleh Islam, anak sebaiknya mempertimbangkan pilihan tersebut dengan baik. Insya Allah, langkah ini akan membawa berkah baginya sehingga terhindar dari keterlambatan berumah tangga atau melajang seumur hidup. (IV): Menerima Tawaran Dari Alqamah bin Qais , ia berkata, Saya pernah bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina, lal ia pergi menyendiri bersama Utsman, kemudian aku duduk bersamanya, lalu Utsman berkata kepadanya, “Maukah engkau saya nikahkan dengan seorang budak perempuan yang masih gadis, supaya kelak dapat mengingatkan engkau mengenai beberapa peristiwa yang telah lalu?” Tatkala Utsman mengetahui bahwa Abdullah tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan itu, ia lalu memberi isyarat dengan tangannya kepadaku, lalu aku datang kepadanya, kemudian ia berkata, “Kalau engkau memang mau menikahinya, sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang sanggup untuk menikah, hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih dekat memelihara pandangan dan memelihara kemaluan. Akan tetapi, barang siapa belum sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu merupakan pengebirian bagi dirinya’.” (HR Ibnu Majah). Hadis di atas mengisahkan salah seorang sahabat Rasulullah saw., Alqamah, yang ditawari Abdullah bin Mas’ud untuk menikah dengan seorang perempuan yang semula ditawarkan Utsman kepada Abdullah. Karena tidak berminat, Abdullah bin Mas’ud mengalihkannya kepada Alqamah.
Kisah tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa menerima tawaran calon suami atau calon istri dari seseorang bukanlah tindakan yang tercela. Syariat Islam membenarkan langkah tersebut. Langkah ini boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan dari orang yang ditawarkan atau tanpa sepengetahuannya. Bila upaya ini dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditawarkan, orang tersebut mempunyai hak untuk menolak atau menerima.
Di lingkungan kaum muslim pada masa sahabat, langkah ini tidak dianggap sebagai tindakan yang merendahkan martabat. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu merasa direndahkan bila ada tawaran dari seseorang untuk menjadi istri atau suami sesame kaum muslim yang menaruh simpati kepadanya. Bahkan, mereka seharusnya berterima kasih atas tindakan tersebut. Mereka seharusnya menyadari bahwa hal ini menunjukkan adanya solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi dalam masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak membiarkan orang-orang yang sangat ingin hidup berumah tangga, melajang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan di masyarakat.
Bila seorang laki-laki atau perempuan ditawari oleh orang lain untuk menikah dengan orang yang ditawarkan kepadanya, hendaklah dia memperhatikan akhlak, ketaatan ibadah, kejujuran, dan keikhlasan orang yang menawarinya. Ia tidak seharusnya mempercayai begitu saja orang yang menawarkan seseorang kepadanya untuk menjadi calon pasangannya, karena belum tentu yang bersangkutan mempunyai tujuan baik dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Boleh jadi orang yang memberi tawaran ini bermaksud hanya menutup rasa malu dirinya atau bertujuan menyengsarakan orang yang ditawari. Jadi, hendaklah ia benar-benar meneliti dengan saksama akhlak dan pribadi orang yang memberi tawaran dan juga calon yang ditawarkan.
Tegasnya, muslim atau muslimah yang ditawari seseorang untuk dijadikan istri atau suami, baik oleh teman, kerabat, maupun majikannya, hendaklah menyambut baik tawaran tersebut dan tidak menganggap sebagai penghinaan. Sekali lagi, Islam tidak menganggap hina hal tersebut, terbukti dilakukan dalam kehidupan kaum muslim pada masa para sahabat Nabi saw. Mereka adalah masyarakat muslim terbaik yang mendapat jaminan dari Allah untuk menjadi ahli surga. (VI): Minta Dicarikan Rasulullah saw. bersabda kepada Ukaf bin Wida’ah al-Hilali, “Apakah engkau telah beristri, wahai Ukaf?” Ia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Bukankah engkau sehat lagi berkemampuan?” Ia menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan, karena engkau mungkin termasuk pendeta nasrani. Hal itu berarti engkau masuk dalam golongan mereka, atau mungkin engkau termasuk golongan kami sehingga hendaklah kamu berbuat seperti yang menjadi kebiasaan kami, sedangkan kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling durhaka di antara kamu adalah orang yang membujang; orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang. Sungguh celakalah kamu, wahai Ukaf. Menikahlah!” Ukaf lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau yang menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, dengan nama Allah dan dengan berkah-Nya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum al-Humairi.” (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar). Hadis tersebut mengisahkan kasus Ukaf, seorang pemuda yang tergolong cukup namun belum beristri, bahkan berniat membujang. Oleh Rasulullah, Ukaf ditegur dan diperintahkan untuk menikah. Beliau menyatakan bahwa membujang bertentangan dengan anjuran Islam. Setelah mendapat teguran dari Rasulullah, Ukaf kemudian mengatakan bahwa dia tidak akan menikah sebelum Rasulullah sendiri yang memilihkan jodoh untuknya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ukaf meminta pertolongan kepada Rasulullah untuk mencarikan istri bagi dirinya.
Dari kasus di atas kita memperoleh pelajaran bahwa bila seorang laki- laki atau perempuan tidak dapat mencari sendiri calon istri atau calon suaminya, ia dapat meminta bantuan orang lain untuk mencarikan jodohnya. Ukaf–dalam kasus ini–berterus terang meminta kepada Rasulullah untuk mencarikan jodoh baginya. Beliau kemudian mengabulkan permintaannya sehingga Ukaf akhirnya mendapatkan jodoh.
Seseorang mengalami kesulitan atau tidak mampu mencari jodoh sendiri seperti yang dialami Ukaf kemungkinan disebabkan beberapa hal. 1. Ia merasa minder meminang meminang perempuan karena pendidikannya rendah, miskin, atau wajahnya yang kurang tampan. Salah satu dari sebab-sebab ini membuatnya tidak berani meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Orang seperti ini dapat meminta bantuan orang ketiga yang dipercayainya untuk mencarikan jodoh baginya. 2. Ia takut melamar perempuan untuk dijadikan istri karena perbedaan lingkungan budaya atau tradisi. Perbedaan tradisi atau budaya dikhawatirkan akan menjadi kendala dalam menciptakan pergaulan suami istri secara harmonis. Oleh karena itu, yang bersangkutan tidak berani melamar walaupun perempuan itu sangat dicintainya. Hal ini dapat diatasi dengan meminta orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang mau menerima keadaan dirinya dan bersedia menyesuaikan diri dengan tradisi dan budayanya. 3. Ia tidak punya kesempatan untuk memilih jodoh yang benar-benar baik karena sibuk bekerja. Bila hal ini yang menjadi penyebabnya, dia dapat meminta jasa orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang diingkarinya. Cara ini memungkinkan dirinya mendapatkan orang yang hendak dijadikan istri atau suami tanpa membuang waktu kerjanya.
Alasan apa pun yang dikemukakan seseorang yang merasa dirinya sulit mendapatkan jodoh, sebenarnya dapat diatasi dengan langkah tersebut. Muslim atau muslimah tidak perlu merasa malu atau rendah diri meminta tolong kepada orang ketiga untuk mencarikan jodoh karena langkah ini telah dilakukan oleh sahabat Rasulullah, yaitu Ukaf. Sebagaimana Ukaf meminta Rasulullah mencarikan jodoh untuknya, siapa pun dapat melakukan hal yang sama, kapan dan di mana saja. Orang-orang yang dimintai tolong tersebut umumnya akan mengabulkan permintaan yang bersangkutan dengan gembira dan sukarela.
Orang ketiga yang dimintai mencarikan jodoh hendaklah yang dapat dipercaya. Mereka ini harus kita pilih yang akhlaknya baik, amanah, dan tahu persis siapa yang pantas menjadi calon bagi orang yang meminta jasa baiknya, serta memiliki pengaruh dalam lingkungannya sehingga yang diminta menjadi istri atau suami akan mempercayainya. Selain itu, dia harus orang yang cermat dalam engamati kepribadian orang lain agar terhindar dari kecerobohan, misalnya mempercayai orang yang tidak baik akhlak atau ketaatannya dalam beragama. Dia hendaknya juga memiliki pengalaman mencarikan jodoh bagi orang lain.
Biro-biro jodoh yang banyak bermunculan di tengah masyarakat sekarang ini belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kualitas kejujuran, kecermatan, akhlak, dan agamanya. Oleh karena itu, kita perlu meneliti biro-biro seperti ini terlebih dahulu, apakah akhlak dan agama pengurus dan orang yang ditawarkannya baik atau tidak. Kita sebaiknya tidak mudah percaya kepada propaganda mereka sebelum mengetahui betul bagaimana kualitas keislaman dan akhlaknya.
Ringkasnya, seorang laki-laki atau perempuan yang merasa sulit mencari jodohnya hendaklah tidak segan-segan meminta tolong kepada orang lain untuk mencarikannya. Insya Allah, dengan perantaraan orang lain, ia akan mendapatkan jodoh yang menjadi harapannya. (VII): Membalas Budi Dalam perang melawan Bani Musthaliq, dikisahkan bahwa salah seorang yang ditawan oleh tentara muslim adalah Barrah, putri Harits bin Dhirar, ketua suku tersebut. Umurnya baru 20 tahun dan saat itu sudah bukan gadis. Walaupun baru berumur 20 tahun, sebagai putri ketua kaum, Barrah tentu mempunyai sefat-sifat berbeda dengan putri-putri lainnya. Ia berparas cantik lagi manis, menarik siapa saja yang melihatnya, juga pemberani. Ia menjadi tawanan sahabat Nabi yang bernama Tsabit bin Qais bin Syammas dan anak pamannya. Waktu itu ia mengajukan permintaan kepada tuannya (Tsabit bin Qais) supaya diizinkan menebus dirinya dengan cara mengangsur.
Dia pergi menjumpai Nabi saw. hendak meminta tolong agar diperkenakan membayar tebusan supaya dirinya dimerdekakan, dia berkata kepada Nabi saw, gYa Rasulullah, saya binti Harits, putri kepala kaumnya. Saya telah ditimpa malapetaka sebagaimana telah engkau ketahui. Saya menjadi tawanan Tsabit bin Qais dan anak pamannya. Saya mengharapkan pertolongan engkau, agar saya dapat dimerdekakan dengan membayar tebusan kepada tuan saya.g
Nabi saw. seketika itu bertanya, gApakah kamu mau yang lebih dari itu!h Barrah berkata, gApakah itu?h Nabi berkata, gAku bayarkan utangmu dan aku mengawinimu.f Ia kemudian berkata, gYa, baiklah, ya Rasulullah, saya mau.h
Ketika itu Nabi lalu menyuruh sorang sahabat untuk menmui Tsabit bin Qais dan meminta supaya Barrah binti Harits dibebaskan.
Oleh Tsabit seketika itu Barrah diserahkan kepada Nabi saw., lalu beliau membayarkan tebusannya dan memerdekakannya, kemudian mengawininya, dan mengganti namanya dengan Juwairiyah.
Kisah di atas menggambarkan bahwa Juwairiyah memperoleh jodohnya karena ingin membalas budi kebaikan Rasulullah.
Seorang laki-laki atau perempuan dapat mencontoh langkah yang dilakukan Juwairiyah untuk mendapatkan jodoh. Hal ini tidak berarti bahwa orang yang melakukan langkah ini tidak punya harga diri atau dianggap barang yang dapat dihadiahkan kepada seseorang yang telah berbuat baik kepadanya.
Sikap Juwairiyah menujukkan bahwa dia telah memergunakan hak asasinya dalam menentukan pilihan yang ditawarkan kepadanya. Hal itu menghapus anggapan tidak benar yang menyatakan bahwa balas budi untuk mendapat jodoh adalah cara yang rendah dan menjatuhkan martabat pelakunya.
Balas budi mungkin saja disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak berakhlak terhadap orang yang lemah posisinya, seperti dalam kisah fiktif Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya. Dalam kisah tersebut sangat jelas bahwa si tua bangka, Datuk Maringgih, menyalahgunakan kekayaan dan posisi sosialnya untuk mendapatkan Siti Nurbaya tanpa mempedulikan penolakan yang bersangkutan.
Langkah mendapatkan jodoh karena ingin membalas budi ini harus benar- benar didasarkan atas keikhlasan pasangannya. Hak asasi orang tersebut untuk menyatakan pendapat dan pilihannya tidak boleh dilanggar sehingga tidak ada paksaan dan tipu muslihat atau manipulasi dari siapa pun. Demikianlah, sebab hal tersebut dapat menimbulkan penyesalan dan rasa dendam. Keridaan dan persetujuan antara pihak pembalas budi dan penerima budi perlu diperhatikan sehingga tidak menimbulkan pelanggaran atas prinsip-prinsip pernikahan yang sudah digariskan syariat Islam. Jika hal ini dilaksanakan, Islam mengakuinya sebagai cara yang sah dan baik.
Jadi, muslim atau muslimah tidak perlu merasa harga dirinya jatuh atau terhina karena menggunakan langkah seperti itu dalam mendapatkan jodohnya. Rasulullah saw. sebagai orang yang lebih mulia daripada segenap manusia lainnya membenarkan penggunaan cara ini, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadits di atas. Setiap hal yang dilakukan Rasulullah pasti membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang mau mencontohnya.
(IX): Menawarkan Diri Dari Sahl bin Sa’ad, Nabi saw. pernah didatangi seorang perempuan, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada Tuan.” Ia berdiri lama sekali, kemudian tampil seorang laki- laki dan berkata, “Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengan perempuan ini seandainya Tuan tiada berhasrat kepadanya ….” (HR Bukhori). Islam tidak menganggap tindakan seorang perempuan menawarkan diri kepada seorang laki-laki sebagai perbuatan tercela karena pada masa Rasulullah saw. ada perempuan muslim yang pernah melakukannya seperti yang diriwayatkan dalam hadits di atas.
Hadis di atas menerangkan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw. untuk menawarkan diri menjadi istri beliau. Oleh Rasulullah keinginannnya tidak dikabulkan. Walaupun begitu, beliau tidak menyatakan bahwa perbuatannya dilarang menurut syariat Islam, bahkan beliau membenarkannya. Hal ini didukung oleh firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 50 yang memaparkan bahwa ada perempuan- perempuan muslim yang ingin menawarkan diri kepada Rasulullah saw. untuk dijadikan istri. Ini menegaskan bahwa tindakan menawarkan diri dibenarkan oleh Islam.
Dengan adanya pembenaran dari Allah dan Rasul-Nya untuk menempuh langkah ini, kaum perempuan seharusnya tidak terhambat oleh tradisi dalam lingkungan masyarakat. Ia tidak perlu merasa ragu dan malu mengambil inisiatif terlebih dahulu dalam mendapatkan jodoh.
Bila masyarakat menganggap menawarkan diri sebagai perbuatan rendah, kita tidak perlu memandangnya sebagai sesuatu yang merusak martabat perempuan. Demikanlah, karena yang pokok dalam bertindak bagi seorang muslim ialah adanya keridaan Allah.
Oleh karena itu, kaum perempuan harus memandangnya sebagai langkah yang halal dan terpuji. Hal ini juga menunjukan adanya pengakuan Islam atas hak persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam urusan mendapatkan jodoh. Dengan langkah ini kemungkinan adanya perawan-perawan yang terlambat menikah sehingga menjadi perawan tua, bahkan tidak bersuami seumur hidupnya karena tidak ada laki-laki yang melamarnya, menjadi kecil.
Kaum feminis dan pergerakan emansipasi seharusnya justru memelopori langkah yang diridai Islam ini. Jika cara ini menjadi pola umum dalam masyarakat kita, tindakan seorang perempuan manawarkan diri kepada laki-laki yang baik dan bertanggung jawab untuk dijadikan istri tentu tidak akan dipandang rendah.
Kaum feminis mestinya merasa malu jika keberanian mereka kalah dibandingkan dengan keberanian kaum muslimah pada masa Rasulullah saw., yang berani menawarkan diri kepada laki-laki untuk dijadikan isteri. Demikianlah sebab kaum feminis sekarang hanya berani menawarkan diri kepada laki-laki sebagai pacar bukan sebagai istri. Begitu rendah kemajuan yang diraih kaum feminis yang bangga merendahkan dirinya dari menjadi istri, merosot menjadi sekadar teman kencan. Oleh karena itu, gerakan feminisme yang belum jelas bentuk dan polanya ini tidak layak ditawarkan kepada dunia sebagai upaya meningkatkan derajat kaum perempuan mencapai peradaban.
Lain halnya dengan Islam, perempuan memiliki hak sederajat dengan kaum laki-laki dalam mencari jodohnya. Mereka berani melamar laki- laki sekalipun mungkin ditolak. Risiko itu tidak menjadi alasan untuk merasa rendah diri, kemudian rela hidup melajang selamanya.
Sebaliknya, jika seorang lelaki didatangi seorang perempuan yang mengajaknya menikah, sedang dirinya tidak berkenan, hendaklah ia menolaknya dengan baik-baik. Penolakannya sebaiknya tidak disebarluaskan kepada orang lain agar tidak menyakiti hati perempuan yang bersangkutan. Bila laki-laki yang bersangkutan merasa tertarik, hendaklah ia meneliti terlebih dahulu perempuan yang menawarkan dirinya dari sisi akhlak, kehidupan keluarga, tingkat pengetahuan agama, pergaulan dengan lingkungan, kerabat, dan ketaatannya kepada orang tua. Sebelum mengetahui detail hal-hal tesebut, hendaklah ia menahan diri atau meminta penundaan agar dapat mengetahui seluk beluk perempuan bersangkutan dengan seksama.
Ringkasnya, mendapatkan jodoh dengan menawarkan diri sebagaimana dilakukan para sahabat perempuan kepada Rasulullah saw. sangat utama untuk ditiru. Para muslimah hendaknya mengambil pertimbangan bahwa hidup berumah tangga lalu melahirkan anak saleh sebagai jaminan surga adalah lebih mulia daripada melajang karena tidak ada laki-laki yang melamarnya. Oleh karena itu, langkah menawarkan diri merupakan salah satu jalan bagi-Nya untuk membentuk rumah tangga yang diridai Allah.
Filed under: Rumah Tangga
(I): Mengusulkan kepada Orang Tua “Salah seorang di antara kedua wanita itu berkata, ‘Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (kepada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik engkau ambil untuk bekerja (kepada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al- Qashash: 26). Ayat di atas mengisahkan dua putrid Nabi Syuaib yang ditolong Musa saat memberi minum domba gembalannya di sebuah telaga. Telaga tersebut saat itu dipenuhi penggembala laki-laki yang menggiring dombanya untuk diberi minum. Setelah menerima pertolongan Musa, salah seorang putrid Nabi Syuaib mendapat kesan mendalam terhadapnya. Setiba di hadapan ayahnya dia menceritakan kejadian tersebut. Nabi Syuaib lalu meminta agar laki-laki yang menolongnya itu dipanggil. Setelah Musa menghadap Nabi Syuaib, salah seorang putrinya mengusulkan agar ayahnya mempekerjakan pemuda ini karena seorang yang kuat lagi jujur. Nabi Syuaib memahami keinginan putrinya yang tersembunyi di balik usulnya. Sebagai seorang ayah yang bijaksana dan halus dalam memahami perasaan putrinya, Nabi Syuaib menyetujui usul putrinya. Beliau kemudian menawarkan kepada Musa untuk bekerja di tempatnya dengan imbalan dinikahkan dengan putrinya yang tertarik kepadanya. Akhirnya Musa menyetujui tawaran Nabi Syuaib untuk bekerja selama delapan tahun dan sesudah itu dia akan menjadi suami putrid Nabi Syuaib yang menginginkannya.Langkah yang ditempuh putrid Nabi Syuaib ini merupakan langkah tepat untuk berkompromi dengan orang tuanya. Dengan langkah tersebut, keinginannya untuk mendapatkan laki-laki idamannya terpenuhi dan kehendak orang tua juga terlaksana karena calon yang diajukannya benar-benar sesuai dengan persyaratan agama.
Masyarakat dan syariat Islam memandang bahwa mengusulkan jodoh kepada orang tua sebagaimana yang dilakukan putrid Nabi Syuaib bukanlah langkah tercela. Langkah ini telah ditempuh oleh keluarga terhormat (keluarga Nabi Syuaib) sebagaimana diuraikan oleh Allah di dalam Alquran. Hal ini dimaksudkan memberi pelajaran bagi umat Islam bahwa mereka dapat menempuh langkah ini untuk mendapatkan jodoh. Anak perempuan yang menginginkan seorang laki-laki dapat mengusulkan kepada orang tuanya agar meminta lelaki yang bersangkutan menjadi suaminya. Demikian halnya anak laki-laki, ia bisa mengusulkan calon istri kepada orang tuanya.
Langkah mengusulkan jodoh kepada orang tua mencerminkan bahwa seorang anak tetap menghargai turut campurnya orang tua dalam memilihkan jodoh untuk dirinya. Langkah ini mengisyaratkan adanya hak anak untuk menentukan calon suami atau calon istrinya tanpa mengesampingkan orang tua. Dengan langkah ini, titik temu antara kepentingan orang tua dan anak dalam memilih jodoh dapat diperoleh. Adanya kemerdekaan atau kebebasan anak dan orang tua dalam menyatakan keinginan dan pendapatnya menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Hal ini memberi pelajaran kepada segenap orang tua muslim bahwa pendapat dan penilaian putra-putrinya dalam memilih jodoh harus dihargai.
Dalam mengusulkan jodoh kepada orang tuanya, anak harus memiliki persamaan pedoman dengan orang tua agar tercapai keinginannya. Keduanya harus ikhlas dan memiliki kesungguhan untuk mematuhi ketentuan agama untuk menghindari munculnya perselisihan yang menimbulkan permusuhan antara orang tua dan anak dalam usaha mendapatkan jodoh.
Sebaliknya, terhadap calon yang diusulkan anak, orang tua hendaknya melakukan pengenalan dan penelitian tentang akhlak dankualitas keislamannya. Bila calon yang diajukan memenuhi syarat yang digariskan agama, tidak ada alasan bagi mereka untuk mempersulit atau menolaknya.
Ringkasnya, perempuan atau laki-laki, yang tidak mengingainkan terjadinya konflik dengan orang tuanya saat memilih jodoh, dapat menempuh langkah seperti yang dilakukan oleh putri Nabi Syuaib.
(II): Memilih Sendiri atau Menanti Pinangan Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh, “Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab, “Baiklah.” Ia berkata, “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR Bukhari). “c dan tidak berdosa kamu meminang wanita-wanita itu dengan sendirian atau kamu menyembunyikan (keinginan menikahi mereka) dalam hatimu c.” (Al-Baqarah: 235).
Hadis di atas menerangkan bahwa Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah saw. datang kepada Ummu Hakim, salah seorang perempuan sahabat Nabi saw. Kepada perempuan itu Abdurrahman bin Auf meminta untuk menyerahkan urusan mencari calon suami dan pernikahannya kepada dirinya. Ummu Hakim kemudian menyerahkan hal itu kepada Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman pun mengatakan kepada Ummu Hakim bahwa dia sendiri yang menikahinya.
Hadis di atas menjelaskan bahwa Abdurrahman memilih sendiri Ummu Hakim sebagai istrinya dan tidak dijodohkan atau dipilihkan orang lain.
Seseorang yang ingin menikah dibenarkan oleh Islam mencari sendiri calonnya, bahkan boleh menikahkan dirinya sendiri kepada perempuan yang dinikahinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf. Pernikahan seperti ini sah karena perbuatan Abdurrahman tidak pernah disalahkan oleh para sahabat atau Nabi saw.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa seorang perempuan yang ingin menikah boleh berlaku pasif untuk mendapatkan jodohnya. Ia menanti pinangan seorang laki-laki yang datang bermaksud menjadikan dirinya sebagai istri.
Seorang perempuan yang menanti pinangan haruslah tetap menjaga ketentuan agama mengenai sifat laki-laki yang baik menjadi suami. Ini bertujuan supaya kelak ia tidak terjerumus ke dalam kehidupan rumah tangga yang merugikan dirinya. Ia tidak seharusnya tergesa-gesa menerima pinangan sebelum melakukan penelitian dengan baik dan melakukan istikharah serta minta pertimbangan kepada orang-orang yang jujur. Selain itu, dalam masa penantian, ia perlu berdoa dan melakukan ibadah sunah, seperti puasa Dawud, bersedekah, dan salat hajat agar diberi kemudahan oleh Allah dalam mendapatkan jodoh.
Islam membenarkan seseorang memilih sendiri calon suami atau calon istrinya. Cara ini sudah berjalan berabad-abad dan tetap dipertahankan oleh Islam sebagai tatanan yang benar. Sebaliknya, wanita dibenarkan menanti pinangan dari seorang laki-laki. Oleh karena itu, tidaklah tercela seorang perempuan bersikap pasif dalam mencari jodoh, karena hal tersebut juga tidak terlarang oleh Islam. (III): Menerima Pilihan Orang Tua Dari Aisyah, ia berkata, “Telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah saw., lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, ayah saya telah menikahkan saya dengan keponakannya agar dapat meringankan beban dirinya.’ Maka, beliau menyerahkan urusan ini kepadanya. Perempuan itu lalu berkata, ‘Saya benarkan apa yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin agar kaum perempuan tahu bahwa para bapak tidak mempunyai hak sedikit pun dalam urusan ini’.” (HR Ahmad). Hadis di atas mengisahkan seorang ayah yang menjodohkan putrinya denganlelaki pilihannya. Perempuan tersebut kemudian mengadukan kejadian itu kepada Rasulullah saw. Beliau akhirnya menyerahkan penyelesaian masalah itu kepadanya. Ia ternyata bersedia menerima lelaki pilihan orang tuanya untuk dijadikan suami. Tetapi, di hadapan orang banyak dia ingin menyatakan bahwa menjodohkan anak–seperti yang terjadi pada dirinya–bukan hak mutlak orang tua. Artinya, jika anak menolak, orang tua tidak boleh memaksa. Sikap ini dibenarkan oleh Rasulullah saw.
Kasus yang terdapat dalam hadis di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa salah satu langkah mendapatkan jodoh ialah menerima pilihan orang tua. Pernikahan seorang perempuan atau laki-laki dengan pasangan yang dipilihkan orang tuanya sah menurut Islam. Oleh karena itu, seorang perempuan atau laki-laki yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua tidak perlu merasa hak-haknya diabaikan. Islam mengakui bahwa setiap orang bebas mendapatkan jodoh yang diinginkannya. Akan tetapi, ternyata yang bersangkutan tidak mampu mendapatkannya, sedangkan orang tua dapat mengusahakan, Islam membenarkan anak menerima pilihan orang tuanya.
Anak, perempuan atau laki-laki, yang dipilihkan jodohnya oleh orang tua hendaklah menanggapi secara baik. Jika calon tersebut memenuhi criteria dan syarat yang digariskan Islam, hendaklah ia lebih mengutamakan pilihan orang tua daripada menantikan yang tidak pasti. Pada awalnya mungkin sekali anak tidak tertarik kepada pilihan orang tua, namun ia bisa mengamati kelebihan calon pasangannya sebagai daya tariknya.
Banyak anak, perempuan maupun laki-laki, lebih mementingkan pilihannya sendiri hanya karena pilihan orang tua sepintas dipandang kurang cocok di hatinya, bukan karena yang bersangkutan tidak memenuhi criteria dan syarat yang digariskan oleh Islam. Akibatnya, calon yang diharapkannya tidak kunjung muncul sehingga sangat terlambat baginya untuk berumah tangga.
Oleh karena itu, seseorang bisa mendapatkan jodoh dengan menerima pilihan orang tua. Selama calon yang diajukan oleh orang tua memenuhi criteria yang digariskan oleh Islam, anak sebaiknya mempertimbangkan pilihan tersebut dengan baik. Insya Allah, langkah ini akan membawa berkah baginya sehingga terhindar dari keterlambatan berumah tangga atau melajang seumur hidup. (IV): Menerima Tawaran Dari Alqamah bin Qais , ia berkata, Saya pernah bersama Abdullah bin Mas’ud di Mina, lal ia pergi menyendiri bersama Utsman, kemudian aku duduk bersamanya, lalu Utsman berkata kepadanya, “Maukah engkau saya nikahkan dengan seorang budak perempuan yang masih gadis, supaya kelak dapat mengingatkan engkau mengenai beberapa peristiwa yang telah lalu?” Tatkala Utsman mengetahui bahwa Abdullah tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan itu, ia lalu memberi isyarat dengan tangannya kepadaku, lalu aku datang kepadanya, kemudian ia berkata, “Kalau engkau memang mau menikahinya, sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Wahai para pemuda, siapa di antara kamu yang sanggup untuk menikah, hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih dekat memelihara pandangan dan memelihara kemaluan. Akan tetapi, barang siapa belum sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu merupakan pengebirian bagi dirinya’.” (HR Ibnu Majah). Hadis di atas mengisahkan salah seorang sahabat Rasulullah saw., Alqamah, yang ditawari Abdullah bin Mas’ud untuk menikah dengan seorang perempuan yang semula ditawarkan Utsman kepada Abdullah. Karena tidak berminat, Abdullah bin Mas’ud mengalihkannya kepada Alqamah.
Kisah tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa menerima tawaran calon suami atau calon istri dari seseorang bukanlah tindakan yang tercela. Syariat Islam membenarkan langkah tersebut. Langkah ini boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan dari orang yang ditawarkan atau tanpa sepengetahuannya. Bila upaya ini dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditawarkan, orang tersebut mempunyai hak untuk menolak atau menerima.
Di lingkungan kaum muslim pada masa sahabat, langkah ini tidak dianggap sebagai tindakan yang merendahkan martabat. Oleh karena itu, seseorang tidak perlu merasa direndahkan bila ada tawaran dari seseorang untuk menjadi istri atau suami sesame kaum muslim yang menaruh simpati kepadanya. Bahkan, mereka seharusnya berterima kasih atas tindakan tersebut. Mereka seharusnya menyadari bahwa hal ini menunjukkan adanya solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi dalam masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak membiarkan orang-orang yang sangat ingin hidup berumah tangga, melajang, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan di masyarakat.
Bila seorang laki-laki atau perempuan ditawari oleh orang lain untuk menikah dengan orang yang ditawarkan kepadanya, hendaklah dia memperhatikan akhlak, ketaatan ibadah, kejujuran, dan keikhlasan orang yang menawarinya. Ia tidak seharusnya mempercayai begitu saja orang yang menawarkan seseorang kepadanya untuk menjadi calon pasangannya, karena belum tentu yang bersangkutan mempunyai tujuan baik dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Boleh jadi orang yang memberi tawaran ini bermaksud hanya menutup rasa malu dirinya atau bertujuan menyengsarakan orang yang ditawari. Jadi, hendaklah ia benar-benar meneliti dengan saksama akhlak dan pribadi orang yang memberi tawaran dan juga calon yang ditawarkan.
Tegasnya, muslim atau muslimah yang ditawari seseorang untuk dijadikan istri atau suami, baik oleh teman, kerabat, maupun majikannya, hendaklah menyambut baik tawaran tersebut dan tidak menganggap sebagai penghinaan. Sekali lagi, Islam tidak menganggap hina hal tersebut, terbukti dilakukan dalam kehidupan kaum muslim pada masa para sahabat Nabi saw. Mereka adalah masyarakat muslim terbaik yang mendapat jaminan dari Allah untuk menjadi ahli surga. (VI): Minta Dicarikan Rasulullah saw. bersabda kepada Ukaf bin Wida’ah al-Hilali, “Apakah engkau telah beristri, wahai Ukaf?” Ia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Tidakkah engkau mempunyai budak perempuan?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Bukankah engkau sehat lagi berkemampuan?” Ia menjawab, “Ya, alhamdulillah.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, engkau termasuk teman setan, karena engkau mungkin termasuk pendeta nasrani. Hal itu berarti engkau masuk dalam golongan mereka, atau mungkin engkau termasuk golongan kami sehingga hendaklah kamu berbuat seperti yang menjadi kebiasaan kami, sedangkan kebiasaan kami adalah beristri. Orang yang paling durhaka di antara kamu adalah orang yang membujang; orang mati yang paling hina di antara kamu adalah orang yang membujang. Sungguh celakalah kamu, wahai Ukaf. Menikahlah!” Ukaf lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan mau menikah sebelum engkau yang menikahkan aku dengan orang yang engkau sukai.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalau begitu, dengan nama Allah dan dengan berkah-Nya, aku nikahkan engkau dengan Kultsum al-Humairi.” (HR Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar). Hadis tersebut mengisahkan kasus Ukaf, seorang pemuda yang tergolong cukup namun belum beristri, bahkan berniat membujang. Oleh Rasulullah, Ukaf ditegur dan diperintahkan untuk menikah. Beliau menyatakan bahwa membujang bertentangan dengan anjuran Islam. Setelah mendapat teguran dari Rasulullah, Ukaf kemudian mengatakan bahwa dia tidak akan menikah sebelum Rasulullah sendiri yang memilihkan jodoh untuknya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ukaf meminta pertolongan kepada Rasulullah untuk mencarikan istri bagi dirinya.
Dari kasus di atas kita memperoleh pelajaran bahwa bila seorang laki- laki atau perempuan tidak dapat mencari sendiri calon istri atau calon suaminya, ia dapat meminta bantuan orang lain untuk mencarikan jodohnya. Ukaf–dalam kasus ini–berterus terang meminta kepada Rasulullah untuk mencarikan jodoh baginya. Beliau kemudian mengabulkan permintaannya sehingga Ukaf akhirnya mendapatkan jodoh.
Seseorang mengalami kesulitan atau tidak mampu mencari jodoh sendiri seperti yang dialami Ukaf kemungkinan disebabkan beberapa hal. 1. Ia merasa minder meminang meminang perempuan karena pendidikannya rendah, miskin, atau wajahnya yang kurang tampan. Salah satu dari sebab-sebab ini membuatnya tidak berani meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Orang seperti ini dapat meminta bantuan orang ketiga yang dipercayainya untuk mencarikan jodoh baginya. 2. Ia takut melamar perempuan untuk dijadikan istri karena perbedaan lingkungan budaya atau tradisi. Perbedaan tradisi atau budaya dikhawatirkan akan menjadi kendala dalam menciptakan pergaulan suami istri secara harmonis. Oleh karena itu, yang bersangkutan tidak berani melamar walaupun perempuan itu sangat dicintainya. Hal ini dapat diatasi dengan meminta orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang mau menerima keadaan dirinya dan bersedia menyesuaikan diri dengan tradisi dan budayanya. 3. Ia tidak punya kesempatan untuk memilih jodoh yang benar-benar baik karena sibuk bekerja. Bila hal ini yang menjadi penyebabnya, dia dapat meminta jasa orang ketiga untuk mencarikan jodoh yang diingkarinya. Cara ini memungkinkan dirinya mendapatkan orang yang hendak dijadikan istri atau suami tanpa membuang waktu kerjanya.
Alasan apa pun yang dikemukakan seseorang yang merasa dirinya sulit mendapatkan jodoh, sebenarnya dapat diatasi dengan langkah tersebut. Muslim atau muslimah tidak perlu merasa malu atau rendah diri meminta tolong kepada orang ketiga untuk mencarikan jodoh karena langkah ini telah dilakukan oleh sahabat Rasulullah, yaitu Ukaf. Sebagaimana Ukaf meminta Rasulullah mencarikan jodoh untuknya, siapa pun dapat melakukan hal yang sama, kapan dan di mana saja. Orang-orang yang dimintai tolong tersebut umumnya akan mengabulkan permintaan yang bersangkutan dengan gembira dan sukarela.
Orang ketiga yang dimintai mencarikan jodoh hendaklah yang dapat dipercaya. Mereka ini harus kita pilih yang akhlaknya baik, amanah, dan tahu persis siapa yang pantas menjadi calon bagi orang yang meminta jasa baiknya, serta memiliki pengaruh dalam lingkungannya sehingga yang diminta menjadi istri atau suami akan mempercayainya. Selain itu, dia harus orang yang cermat dalam engamati kepribadian orang lain agar terhindar dari kecerobohan, misalnya mempercayai orang yang tidak baik akhlak atau ketaatannya dalam beragama. Dia hendaknya juga memiliki pengalaman mencarikan jodoh bagi orang lain.
Biro-biro jodoh yang banyak bermunculan di tengah masyarakat sekarang ini belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kualitas kejujuran, kecermatan, akhlak, dan agamanya. Oleh karena itu, kita perlu meneliti biro-biro seperti ini terlebih dahulu, apakah akhlak dan agama pengurus dan orang yang ditawarkannya baik atau tidak. Kita sebaiknya tidak mudah percaya kepada propaganda mereka sebelum mengetahui betul bagaimana kualitas keislaman dan akhlaknya.
Ringkasnya, seorang laki-laki atau perempuan yang merasa sulit mencari jodohnya hendaklah tidak segan-segan meminta tolong kepada orang lain untuk mencarikannya. Insya Allah, dengan perantaraan orang lain, ia akan mendapatkan jodoh yang menjadi harapannya. (VII): Membalas Budi Dalam perang melawan Bani Musthaliq, dikisahkan bahwa salah seorang yang ditawan oleh tentara muslim adalah Barrah, putri Harits bin Dhirar, ketua suku tersebut. Umurnya baru 20 tahun dan saat itu sudah bukan gadis. Walaupun baru berumur 20 tahun, sebagai putri ketua kaum, Barrah tentu mempunyai sefat-sifat berbeda dengan putri-putri lainnya. Ia berparas cantik lagi manis, menarik siapa saja yang melihatnya, juga pemberani. Ia menjadi tawanan sahabat Nabi yang bernama Tsabit bin Qais bin Syammas dan anak pamannya. Waktu itu ia mengajukan permintaan kepada tuannya (Tsabit bin Qais) supaya diizinkan menebus dirinya dengan cara mengangsur.
Dia pergi menjumpai Nabi saw. hendak meminta tolong agar diperkenakan membayar tebusan supaya dirinya dimerdekakan, dia berkata kepada Nabi saw, gYa Rasulullah, saya binti Harits, putri kepala kaumnya. Saya telah ditimpa malapetaka sebagaimana telah engkau ketahui. Saya menjadi tawanan Tsabit bin Qais dan anak pamannya. Saya mengharapkan pertolongan engkau, agar saya dapat dimerdekakan dengan membayar tebusan kepada tuan saya.g
Nabi saw. seketika itu bertanya, gApakah kamu mau yang lebih dari itu!h Barrah berkata, gApakah itu?h Nabi berkata, gAku bayarkan utangmu dan aku mengawinimu.f Ia kemudian berkata, gYa, baiklah, ya Rasulullah, saya mau.h
Ketika itu Nabi lalu menyuruh sorang sahabat untuk menmui Tsabit bin Qais dan meminta supaya Barrah binti Harits dibebaskan.
Oleh Tsabit seketika itu Barrah diserahkan kepada Nabi saw., lalu beliau membayarkan tebusannya dan memerdekakannya, kemudian mengawininya, dan mengganti namanya dengan Juwairiyah.
Kisah di atas menggambarkan bahwa Juwairiyah memperoleh jodohnya karena ingin membalas budi kebaikan Rasulullah.
Seorang laki-laki atau perempuan dapat mencontoh langkah yang dilakukan Juwairiyah untuk mendapatkan jodoh. Hal ini tidak berarti bahwa orang yang melakukan langkah ini tidak punya harga diri atau dianggap barang yang dapat dihadiahkan kepada seseorang yang telah berbuat baik kepadanya.
Sikap Juwairiyah menujukkan bahwa dia telah memergunakan hak asasinya dalam menentukan pilihan yang ditawarkan kepadanya. Hal itu menghapus anggapan tidak benar yang menyatakan bahwa balas budi untuk mendapat jodoh adalah cara yang rendah dan menjatuhkan martabat pelakunya.
Balas budi mungkin saja disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak berakhlak terhadap orang yang lemah posisinya, seperti dalam kisah fiktif Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya. Dalam kisah tersebut sangat jelas bahwa si tua bangka, Datuk Maringgih, menyalahgunakan kekayaan dan posisi sosialnya untuk mendapatkan Siti Nurbaya tanpa mempedulikan penolakan yang bersangkutan.
Langkah mendapatkan jodoh karena ingin membalas budi ini harus benar- benar didasarkan atas keikhlasan pasangannya. Hak asasi orang tersebut untuk menyatakan pendapat dan pilihannya tidak boleh dilanggar sehingga tidak ada paksaan dan tipu muslihat atau manipulasi dari siapa pun. Demikianlah, sebab hal tersebut dapat menimbulkan penyesalan dan rasa dendam. Keridaan dan persetujuan antara pihak pembalas budi dan penerima budi perlu diperhatikan sehingga tidak menimbulkan pelanggaran atas prinsip-prinsip pernikahan yang sudah digariskan syariat Islam. Jika hal ini dilaksanakan, Islam mengakuinya sebagai cara yang sah dan baik.
Jadi, muslim atau muslimah tidak perlu merasa harga dirinya jatuh atau terhina karena menggunakan langkah seperti itu dalam mendapatkan jodohnya. Rasulullah saw. sebagai orang yang lebih mulia daripada segenap manusia lainnya membenarkan penggunaan cara ini, sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadits di atas. Setiap hal yang dilakukan Rasulullah pasti membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang mau mencontohnya.
(IX): Menawarkan Diri Dari Sahl bin Sa’ad, Nabi saw. pernah didatangi seorang perempuan, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada Tuan.” Ia berdiri lama sekali, kemudian tampil seorang laki- laki dan berkata, “Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengan perempuan ini seandainya Tuan tiada berhasrat kepadanya ….” (HR Bukhori). Islam tidak menganggap tindakan seorang perempuan menawarkan diri kepada seorang laki-laki sebagai perbuatan tercela karena pada masa Rasulullah saw. ada perempuan muslim yang pernah melakukannya seperti yang diriwayatkan dalam hadits di atas.
Hadis di atas menerangkan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw. untuk menawarkan diri menjadi istri beliau. Oleh Rasulullah keinginannnya tidak dikabulkan. Walaupun begitu, beliau tidak menyatakan bahwa perbuatannya dilarang menurut syariat Islam, bahkan beliau membenarkannya. Hal ini didukung oleh firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 50 yang memaparkan bahwa ada perempuan- perempuan muslim yang ingin menawarkan diri kepada Rasulullah saw. untuk dijadikan istri. Ini menegaskan bahwa tindakan menawarkan diri dibenarkan oleh Islam.
Dengan adanya pembenaran dari Allah dan Rasul-Nya untuk menempuh langkah ini, kaum perempuan seharusnya tidak terhambat oleh tradisi dalam lingkungan masyarakat. Ia tidak perlu merasa ragu dan malu mengambil inisiatif terlebih dahulu dalam mendapatkan jodoh.
Bila masyarakat menganggap menawarkan diri sebagai perbuatan rendah, kita tidak perlu memandangnya sebagai sesuatu yang merusak martabat perempuan. Demikanlah, karena yang pokok dalam bertindak bagi seorang muslim ialah adanya keridaan Allah.
Oleh karena itu, kaum perempuan harus memandangnya sebagai langkah yang halal dan terpuji. Hal ini juga menunjukan adanya pengakuan Islam atas hak persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam urusan mendapatkan jodoh. Dengan langkah ini kemungkinan adanya perawan-perawan yang terlambat menikah sehingga menjadi perawan tua, bahkan tidak bersuami seumur hidupnya karena tidak ada laki-laki yang melamarnya, menjadi kecil.
Kaum feminis dan pergerakan emansipasi seharusnya justru memelopori langkah yang diridai Islam ini. Jika cara ini menjadi pola umum dalam masyarakat kita, tindakan seorang perempuan manawarkan diri kepada laki-laki yang baik dan bertanggung jawab untuk dijadikan istri tentu tidak akan dipandang rendah.
Kaum feminis mestinya merasa malu jika keberanian mereka kalah dibandingkan dengan keberanian kaum muslimah pada masa Rasulullah saw., yang berani menawarkan diri kepada laki-laki untuk dijadikan isteri. Demikianlah sebab kaum feminis sekarang hanya berani menawarkan diri kepada laki-laki sebagai pacar bukan sebagai istri. Begitu rendah kemajuan yang diraih kaum feminis yang bangga merendahkan dirinya dari menjadi istri, merosot menjadi sekadar teman kencan. Oleh karena itu, gerakan feminisme yang belum jelas bentuk dan polanya ini tidak layak ditawarkan kepada dunia sebagai upaya meningkatkan derajat kaum perempuan mencapai peradaban.
Lain halnya dengan Islam, perempuan memiliki hak sederajat dengan kaum laki-laki dalam mencari jodohnya. Mereka berani melamar laki- laki sekalipun mungkin ditolak. Risiko itu tidak menjadi alasan untuk merasa rendah diri, kemudian rela hidup melajang selamanya.
Sebaliknya, jika seorang lelaki didatangi seorang perempuan yang mengajaknya menikah, sedang dirinya tidak berkenan, hendaklah ia menolaknya dengan baik-baik. Penolakannya sebaiknya tidak disebarluaskan kepada orang lain agar tidak menyakiti hati perempuan yang bersangkutan. Bila laki-laki yang bersangkutan merasa tertarik, hendaklah ia meneliti terlebih dahulu perempuan yang menawarkan dirinya dari sisi akhlak, kehidupan keluarga, tingkat pengetahuan agama, pergaulan dengan lingkungan, kerabat, dan ketaatannya kepada orang tua. Sebelum mengetahui detail hal-hal tesebut, hendaklah ia menahan diri atau meminta penundaan agar dapat mengetahui seluk beluk perempuan bersangkutan dengan seksama.
Ringkasnya, mendapatkan jodoh dengan menawarkan diri sebagaimana dilakukan para sahabat perempuan kepada Rasulullah saw. sangat utama untuk ditiru. Para muslimah hendaknya mengambil pertimbangan bahwa hidup berumah tangga lalu melahirkan anak saleh sebagai jaminan surga adalah lebih mulia daripada melajang karena tidak ada laki-laki yang melamarnya. Oleh karena itu, langkah menawarkan diri merupakan salah satu jalan bagi-Nya untuk membentuk rumah tangga yang diridai Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar