Kesultanan Utsmaniyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Lihat diskusi mengenai artikel ini di halaman diskusinya. |
Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan. Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini. |
|
Negara ini didirikan oleh Bani Utsman (dalam bahasa Inggris: House of Osman atau Ottoman dynasty), yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Kebangkitan Kesultanan (1299-1453)
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.
[sunting] Perkembangan Kerajaan (1453–1683)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik[sunting] Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-15660 melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin Barbarossa, admiral angkatan laut Turki saat itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Perancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
[sunting] Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
[sunting] Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam[4]. Arti kedua adalah politik luar negeri, (belum selesai)[sunting] Politik dalam negeri
Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Lihat diskusi mengenai artikel ini di halaman diskusinya. |
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi,[rujukan?] tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549)sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga administrasi negara menjadi lebih mudah dan terstruktur rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788)[5]. Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826)[6], sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni[7].
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17[8]. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16[9]. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira[10].
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah.[rujukan?] Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari[11].
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667).[rujukan?] Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya.[rujukan?] Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal.[rujukan?] Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran.[rujukan?] Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
[sunting] Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
[sunting] Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo [12]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam[13]. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi [14].Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan [15]. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama[16].
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi[17]. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI).
[sunting] Daftar Sultan
Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sampai berdirinya Turki sekuler.
|
|
[sunting] Referensi
- ^ Kinross, 23
- ^ (Turki) Sultan Osman I, Turkish Ministry of Culture website
- ^ Leslie Peirce "The Imperial Harem: Women and sovereignty in the Ottoman empire and Morality Tales: Law and gender in the Ottoman court of Aintab"
- ^ An-Nabhani, Taqiyyuddin (6 Oktober 2002). Ad-Daulatul Islamiyyah. Darul Ummah. hlm. 139.
- ^ Asy-Syalabi, Ali Muhammad (6 Oktober 2003). Bangkit dan Runtuhnya Khilafah 'Utsmaniyah. Pustaka Al-Kautsar. hlm. 403-425.
- ^ Mufradi, Ali (6 Oktober 2002). Kerajaan Utsmani dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 236-246.
- ^ Asy-Syalabi, 398-399
- ^ Musthafa, Nadiyah Mahmud (6 Oktober 1996). Al-'Ashrul 'Utsmani minal Quwwatul Haimanah ila Bidayatul Mas'alatusy Syarqiyyah. Al-Ma'hadul 'Alami lil Fikrul Islami. hlm. 94.
- ^ Marjeh, Maufaq Bani (6 Oktober 1996). Shahwatur Rajulul Maridh au as-Sulthan 'Abdul Hamid ats-Tsani wal Khilafatul Islamiyyah. Darul Bayariq. hlm. 42.
- ^ Harb, Muhammad (6 Oktober 1998). Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II. Darul Qalam. hlm. 68.
- ^ Marjeh, 46
- ^ Bandera Islam, 16 Oktober 1924
- ^ Noer, Deliar (6 Oktober 1973). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES. hlm. 242.
- ^ Hindia Baroe, 9 Januari 1925
- ^ Noer, 242
- ^ Noer, 243
- ^ Suryanegara, Ahmad Mansur (6 Oktober 1998). Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Mizan. hlm.227
Keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani
Khilafah Islamiyah sejak jaman Khulafaur Rosyidin berdiri dengan kokoh sampai pada Khilafah Utsmaniyah. Eksistensi khalifah sendiri adalah sesuatu yang penting di dalam Islam. Hal ini tergambar dalam kesibukan sahabat Muhajirin dan Anshor untuk menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAW di perkampungan bani Saqifah, sementara jenazah Rasulullah sendiri belum dikuburkan. Kekhalifahan dalam Islam mengalami pasang surut antara kejayaan, keemasan dan kadang kemunduran. Salah satu kekhalifahan yang mempunyai rentang waktu panjang dan kejayaan yang mengagumkan adalah Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki . Kesukseskan terbesar kekhalifahan Utsmaniyah diantaranya adalah penaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Hal ini mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Hingga hampir dikatakan, semua kota penting yang sangat terkenal sejak jaman dahulu masuk ke dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Pada saat itu seluruh Eropa gemetar dengan kekuasaan Utsmaniyah, Raja-raja Eropa berada dalam jaminan keselamatan yang diberikan khalifah Utsmaniyah.Semua hal inilah yang menjadikan raja-raja Eropa menyimpan dendam sekaligus hasrat yang membara untuk meluluhlantakkan Khalifah Utsmaniyah. Mereka menunggu kesempatan dan menyusun rencana yang benar-benar matang. Bahkan disebutkan bahwa para pemikir, filosof, raja, panglima perang dan pastur bangsa Eropa ikut terlibat dalam penyusunan rencana tersebut. Tak kurang dari perdana menteri Romawi Dubuqara menulis buku yang berjudul Seratus Kiat untuk Menghancurkan Turki.
Sebab-sebab Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah Turki
Pemerintahan Kekhalifahan Utsmaniyah berakhir pada 1909 H, dan kemudian benar-benar dihapuskan pada 1924 H. Setidaknya ada tiga sebab yang melingkupi keruntuhan kekhilafahan kebanggaan kaum muslimin ini, antara lain :
Pertama : Kondisi Pemerintahan yang Lemah dan Kemorosotan Akhlak
Turki mulai mengalami kemunduruan setelah terjangkit penyakit yang menyerang bangsa-bangsa besar sebelumnya, yaitu : cinta dunia dan bermewah-mewahan, sikap iri hati, benci membenci, dan penindasan. Pejabat pemerintahan terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Begitu pula rakyat yang terus menerus tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan hidup, meninggalkan pemahaman dan semangat jihad.
Kedua : Serangan dan Pertempuran Militer dari Eropa
Sebelum terjadinya Perang Dunia I yang menghancurkan Turki, upaya penyerangan dari Raja Eropa ke Turki sebenarnya sudah dimulai pada akhir abad 16, dimana saat itu keluar statement yang menyatakan bahwa : ” Sri Paus V, raja Perancis Philip dan republik Bunduqiyah sepakat untuk mengumumkan perang ofensif dan defensif terhadap orang-orang Turki untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Turki seperti Tunisia, Al-Jazair dan Taroblush”. Sejak itulah Turki melemah karena banyaknya pertempuran yang terjadi antara mereka dan negara-negara Eropa.
Puncak dari semua itu adalah keterlibatan Turki dalam Perang Dunia I pada 2 Agustus 1914 atas rencana busuk dari Mustapa Kamal, dan mengakibatkan Turki kehilangan segala-galanya, dimana militer penjajah akhirnya memasuki Istambul.
Ketiga : Gerakan Oposisi Sekuler dan Nasionalis
Selain serangan konspirasi dari luar, kekhalifahan Utsmaniyah juga menerima perlawanan oposisi dari organisasi sekuler dan nasionalis yang sempit, seperti Organisasi Wanita Turki dan Organisasi Persatuan dan Kemajuan yang digawangi oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dalam perjuangannya, mereka banyak bekerja sama dengan negara Eropa untuk mewujudkan keinginan mereka menghilangkan kekhalifahan.
Puncaknya apa yang terjadi pada tahun 1909 H, dengan dalih gerakan mogok massal, organisasi Persatuan dan Kesatuan berhasil memasuki Istambul, menyingkirkan khalifah Abdul Hamid II dan melucutinya dari pemerintahan dan keagamaan dan tinggal menjadi simbol belaka. Tidak cukup itu, pada 3 Maret 1924, badan legislatif mengangkat Mustafa Kamal sebagai presiden Turki dan membubarak khilafah islamiyah. Tidak lama setelah itu, Khalifah Abdul Hamid dan keturunannya diusir dari Turki dan aset kekayaannya disita.
Semoga kita mampu mengambil pelajaran.
Source: indonesiaoptimis.com
Keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani
Khilafah Islamiyah sejak jaman Khulafaur Rosyidin berdiri dengan kokoh sampai pada Khilafah Utsmaniyah. Eksistensi khalifah sendiri adalah sesuatu yang penting di dalam Islam. Hal ini tergambar dalam kesibukan sahabat Muhajirin dan Anshor untuk menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAW di perkampungan bani Saqifah, sementara jenazah Rasulullah sendiri belum dikuburkan. Kekhalifahan dalam Islam mengalami pasang surut antara kejayaan, keemasan dan kadang kemunduran. Salah satu kekhalifahan yang mempunyai rentang waktu panjang dan kejayaan yang mengagumkan adalah Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki . Kesukseskan terbesar kekhalifahan Utsmaniyah diantaranya adalah penaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Hal ini mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Hingga hampir dikatakan, semua kota penting yang sangat terkenal sejak jaman dahulu masuk ke dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah. Pada saat itu seluruh Eropa gemetar dengan kekuasaan Utsmaniyah, Raja-raja Eropa berada dalam jaminan keselamatan yang diberikan khalifah Utsmaniyah.Semua hal inilah yang menjadikan raja-raja Eropa menyimpan dendam sekaligus hasrat yang membara untuk meluluhlantakkan Khalifah Utsmaniyah. Mereka menunggu kesempatan dan menyusun rencana yang benar-benar matang. Bahkan disebutkan bahwa para pemikir, filosof, raja, panglima perang dan pastur bangsa Eropa ikut terlibat dalam penyusunan rencana tersebut. Tak kurang dari perdana menteri Romawi Dubuqara menulis buku yang berjudul Seratus Kiat untuk Menghancurkan Turki.
Sebab-sebab Keruntuhan Kekhalifahan Utsmaniyah Turki
Pemerintahan Kekhalifahan Utsmaniyah berakhir pada 1909 H, dan kemudian benar-benar dihapuskan pada 1924 H. Setidaknya ada tiga sebab yang melingkupi keruntuhan kekhilafahan kebanggaan kaum muslimin ini, antara lain :
Pertama : Kondisi Pemerintahan yang Lemah dan Kemorosotan Akhlak
Turki mulai mengalami kemunduruan setelah terjangkit penyakit yang menyerang bangsa-bangsa besar sebelumnya, yaitu : cinta dunia dan bermewah-mewahan, sikap iri hati, benci membenci, dan penindasan. Pejabat pemerintahan terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Begitu pula rakyat yang terus menerus tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan hidup, meninggalkan pemahaman dan semangat jihad.
Kedua : Serangan dan Pertempuran Militer dari Eropa
Sebelum terjadinya Perang Dunia I yang menghancurkan Turki, upaya penyerangan dari Raja Eropa ke Turki sebenarnya sudah dimulai pada akhir abad 16, dimana saat itu keluar statement yang menyatakan bahwa : ” Sri Paus V, raja Perancis Philip dan republik Bunduqiyah sepakat untuk mengumumkan perang ofensif dan defensif terhadap orang-orang Turki untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Turki seperti Tunisia, Al-Jazair dan Taroblush”. Sejak itulah Turki melemah karena banyaknya pertempuran yang terjadi antara mereka dan negara-negara Eropa.
Puncak dari semua itu adalah keterlibatan Turki dalam Perang Dunia I pada 2 Agustus 1914 atas rencana busuk dari Mustapa Kamal, dan mengakibatkan Turki kehilangan segala-galanya, dimana militer penjajah akhirnya memasuki Istambul.
Ketiga : Gerakan Oposisi Sekuler dan Nasionalis
Selain serangan konspirasi dari luar, kekhalifahan Utsmaniyah juga menerima perlawanan oposisi dari organisasi sekuler dan nasionalis yang sempit, seperti Organisasi Wanita Turki dan Organisasi Persatuan dan Kemajuan yang digawangi oleh Mustafa Kemal Ataturk. Dalam perjuangannya, mereka banyak bekerja sama dengan negara Eropa untuk mewujudkan keinginan mereka menghilangkan kekhalifahan.
Puncaknya apa yang terjadi pada tahun 1909 H, dengan dalih gerakan mogok massal, organisasi Persatuan dan Kesatuan berhasil memasuki Istambul, menyingkirkan khalifah Abdul Hamid II dan melucutinya dari pemerintahan dan keagamaan dan tinggal menjadi simbol belaka. Tidak cukup itu, pada 3 Maret 1924, badan legislatif mengangkat Mustafa Kamal sebagai presiden Turki dan membubarak khilafah islamiyah. Tidak lama setelah itu, Khalifah Abdul Hamid dan keturunannya diusir dari Turki dan aset kekayaannya disita.
Semoga kita mampu mengambil pelajaran.
Source: indonesiaoptimis.com
at topik ini.
Banyak ahli sejarah menulis, bahwa fanatis kelompok termasuk di dalamnya faham Nasionalisme, merupakan salah satu sebab utama runtuhnya khilafah Utsmaniyah –benteng terakhir Islam sejak didirikan empat belas abad yang lalu-.
(1) Dalam bukunya “Daulah Utsmaniyah” Dr. Jamal Abdul Hadi, salah seorang pakar sejarah dari Mesir, menyebutkan beberapa sarana yang dimanfaatkan Yahudi Eropa untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan Islam di Turki waktu itu. Diantaranya adalah dengan menghidupkan faham Nasionalisme.
Di dalam buku setebal 163 halaman tersebut, beliau menjelaskan permasalahan di atas sebagai berikut :
“ …mereka berusaha memporak-porandakan negeri Islam ini dari dalam, ingin menghancurkannya lewat tangan putra-putranya sendiri. Yaitu dengan cara mendukung dan membujuk partai-partai oposan, agar membentuk tandzim-tandzim rahasia dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Islam. Partai-partai oposan tersebut diantaranya adalah: Partai Pemuda, Partai Persatuan dan Pengembangan, dan Partai Kamaliyyun. Selain cara itu, mereka juga menghidupkan faham Nasionalisme di kalangan umat Islam, serta menaburkan benih perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain. Karena dari situ akan terbuka jalan lebar bagi kekuatan asing untuk ikut campur tangan dengan dalih keamanan”. (Dr. Jamal Hadi, Daulah Utsmaniyah, juz: 2, hal. 20)
(2) Apa yang diungkapkan Dr. Jamal Hadi tersebut, dikuatkan dengan pendapat muwafik Bani Marjah. Di dalam tesisnya yang berjudul “Sultan Abdul Hamid (khilafah Islamiyah)”, penulis yang pernah melalang benua ke kota-kota di Eropa dan Arab untuk memburu data-data yang sah tentang Khilafah Utsmaniyah tersebut menjelaskan sebagai berikut :
“Eropa telah berpengalaman dalam menebarkan faham Nasionalisme dan menyalakan api perselisihan antar kelompok dan suku, terutama antara bangsa Turki, mereka membentuk kedutaan dan konsulat di berbagai kota untuk mencapai tujuannya, seperti di Istambul, Damaskus, Baghdad, Cairo, dan Jeddah.” (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid wal Khilafah Utsmaniyah, hal. 174)
(3) Begitu juga apa yang ditulis pakar sejarah “Mahmud Syakir” di dalam bukunya “Tarikh Islam” menunjukkan hal yang serupa. Di dalam juz ke-8, beliau menjelaskan:
“… dan mungkin hal yang terpenting adalah kelompok yang bergerak untuk menyebarkan paham Nasionalisme, mereka tidak mempunyai gerakan yang berarti untuk meruntuhkan Daulah Islamiyah kecuali dengan “menyebarkan paham Nasionalisme”. Oleh karena itu, mereka bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dan ternyata paham Nasionalisme tersebut merupakan unsur terpenting di dalam melemahkan kekuatan Daulah Islamiyah, karena umat Islam dengan Nasionalisme akan tercerai-berai, saling berselisih, masing-masing ingin bergabung dengan suku dan kelompoknya, ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah, dan cukuplah dengan gerakan untuk memisahkan diri tersebut akan terkotak-kotaklah kekuatan umat, dengan demikian Daulah akan melemah dan terputus jaringannya dan akhirnya ambruk… begitulah yang terjadi.” (Mahmud Syakir, Tarikh Islam, Al-Maktab Islami, 1991 M, juz: 8, hal. 122)
Bermula dari munculnya berbagai propaganda ke arah Nasionalisme Thoriah, yang dipelopori oleh Partai Persatuan dan Pengembangan, mereka memulai gerakannya dengan men-Turki- kan Daulah Utsmaniah di Turki.
Untuk menopang dakwahnya ini, mereka menjadikan serigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam) sebagai syiar dari gerakannya tersebut.
(Muhammad Muhammad Husain, Ittijahat Wathoniyah, juz: 2, hal. 85)
Partai ini dipimpin oleh Ahmad Ridho dan berpusat di Paris.
Usaha-usaha yang dilakukan partai ini antara lain:
1. Membuka cabang-cabang di Berlin, Salonik, dan Istambul.
2. Menerbitkan majalah “ANBA”. Majalah tersebut disponsori gerakan Masuniah di Paris.
3. Menyebarkan paham Nasionalisme Thouroniah dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan Barat di negara Turki.
4. Menyebarkan rasa permusuhan dengan bangsa Arab, diantaranya dengan adanya usaha untuk mencopot kementrian Wakaf, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian Luar Negeri, yang waktu itu dipegang oleh orang-orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki.
5. Berusaha membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja. (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid dan Khilafah Utsmaniah, hal. 174)
Gerakan itu membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Iraq, dan Hijaz.
Bermula dari pelataran bumi Syam, fanatisme ini berkembang dan membesar. Fanatisme ini bertujuan untuk menumbangkan khilafah Utsmaniah yang dipegang oleh orang Turki. Lebih ironis lagi, fanatisme ini dikendalikan oleh orang-orang Nasrani Libanon, yang telah terbina dalam pendidikan Barat. Diantara para tokohnya adalah Faris Namir dan Ibrahim Yasji.
Gerakan fanatisme arab ini didorong lebih jauh lagi oleh Negib Azoury, seorang kristen pegawai pemerintahan Utsmani di Palestina. Ia berhasil menerbitkan buku “Le Revell de la nation arabe”. Di dalam bukunya tersebut, ia mengutarakan gagasannya untuk membuat suatu arab empire yang mempunyai batas-batas alami, yaitu: lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Lautan Tengah. Gagasan ini jelas akan mendorong lebih cepat terciptanya separatisme wilayah arab dari kekuasaan Turki Utsmani. (Azyumardi Azra, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modem)
Agar penyebaran fanatisme ini lebih aman dan mendapat dukungan, mereka menggunakan nama Jam’iyah sebagai kedok.
Jam’iyah ini bergerak di dalam bidang keilmuan dan kesenian dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan mempromosikan budaya-budaya barat di negara-negara Arab.
Dalam waktu dua tahun saja, Jam’iyah ini mampu merekrut 50 anggota dari kalangan Nasrani semuanya. Jam’iyah ini mendukung penuh gerakan Protestan yang berada di wilayah Syam.
Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia I, kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari khilafah Utsmaniah, mereka ingin mendirikan “Khilafah Arabiyah” sebagai tandingannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Inggris untuk memporak-porandakan kekuatan Islam.
Eropa mengerti betul bahwa perpecahan antara Arab dan Turki akan mengakibatkan kekuatan Islam lemah, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Abduh :
“ Sesungguhnya bangsa Arab mampu untuk mendepak orang-orang Turki dari kursi kekhalifahan, akan tetapi bangsa Turki tidak rela begitu saja. Apalagi waktu itu bangsa Turki mempunyai kekuatan militer yang tidak dimiliki oleh pihak lain, dengannya mereka akan menyerang dan membunuh bangsa Arab. Maka apabila kedua kekuatan itu melemah, Eropalah yang menjadi kuat –mereka sudah lama menunggu antara pertarungan umat Islam tersebut-, kemudian berusaha untuk menguasai kedua bangsa tersebut atau salah satunya yang terlemah. Padahal waktu itu bangsa Arab dan bangsa Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa itu, jelas akan melemahkan kekuatan Islam sekaligus merupakan jalan pintas meunuju kehancurannya.” (Dr. Muhammad Imaroh, Al-Jam’iyah Al-Islamiyah wal Fikroh Al-qoumiyah, Daar Assyuruq 1414-1994, hal. 53, 54)
Mengetahui yang demikian, diutuslah “Lorence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan “Lorence Arab”. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan khilafah Utsmaniah di Turki, tentunya di bawah bimbingan dan arahan Lorence Arab ini.
Tentara-tentara Arab berkumpul dan bersatu dengan kekuatan-kekuatan asing.
Jauh-jauh sebelum persekongkolan untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniah itu dilakukan, Inggris telah menjanjikan Syarif Husain, pembesar Makkah waktu itu, apabila khalifah Utsmaniah jatuh maka Syarif Husain akan menjadi kholifah pengganti.
Namun kenyataannya, setelah rencana itu berhasil dan perang telah usai, seperti kebiasaannya, Inggris menyelisihi janjinya, dua perwakilan yang diundang Syarif Husain dalam acara penyerahan kekuasaan yang diadakan di Jeddah tak mau hadir, bahkan pada waktu itu Inggris membuka kartu yang selama ini disimpan.
Ternyata tiga negara besar telah berkolusi untuk membagai wilayah Khilafah Utsmaniah pada perjanjian rahasia antara Inggris, Perancis, dan Rusia.
Pada waktu itu juga, Musthafa Kamal sang pengkhianat itu, berhasil merebut tampuk kepemimpinan dari keluarga Utsmaniah. Tampaknya hal itu telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya, yaitu ketika Ia memimpin gerakan Kamailun, yang melakukan aktifitasnya di bawah tanah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari gerakan Masuniah Internasional. (Dr. Jamal Abdul Hadi, Al-Mujtama’ Al-Islamy Al-Mu’ashir, Al-Wafa’, juz I, hal. 59)
Puncaknya pada muktamar “Luzone”, yang akhirnya, Musthafa Kamal menerima 4 syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki. Ke-empat syarat itu adalah :
1. Menghapus sistem khilafah.
2. Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan.
3. Memproklamirkan berdirinya negara sekuler.
4. Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
(Mahmud Syakir, Tarikh Islam, juz: 8, hal. 233)
Pada waktu itu secara resmi, “The SickMan” telah tumbang, setelah enam abad lamanya berkuasa.
Yach… akhirnya Khlafah Utsmaniah harus tumbang, menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Perang Dunia I yang berlangsung selama 4 tahun (1914-1918) itu.
Setelah berdiri tegar berabad-abad lamanya membela kemuliaan, akhirnya bangunan yang kokoh itu runtuh. Runtuh bukan karena serangan dari musuh-musuh luarnya, akan tetapi runtuh di tangan putra-putranya sendiri.
Setelah keruntuhan benteng terakhir umat Islam itu, bangsa Arab sadar, bahwa mereka telah terkecoh rayuan Inggris dan secara tidak sadar ikut andil di dalam meruntuhkan Khilafah Utsmaniah, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Kegagalan mereka untuk mendirikan Khilafah Arobiyah, membuat mereka kehilangan nyali untuk mulai bergerak lagi, mereka telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang kehilangan induknya.
Kalaupun ada usaha-usaha mereka, yang sempat ditulis sejarah untuk mengembalikan kemuliaan mereka kembali, itupun hanya sebatas surat menyurat antara Syarif Husain dan Musthafa Kamal.
Akan tetapi apa yang diharapkan bangsa Arab dari seorang fanatik Turki yang membenci bangsa Arab itu sendiri?
Begitulah permisalan syaithan ketika Ia berkata kepada manusia “kafirlah” tatkala Ia telah kafir tiba-tiba syaithan berlepas diri.
Pada detik-detik keruntuhan Khlafah Utsmaniah, nun jauh di sana orang-orang Nasrani berpesta-pora, kesempatan yang mereka tunggu berabad-abad telah tiba, kedengkian dan kesumat selama ini telah tersampaikan. Jendral Ghordh, pimpinan pasukan Prancis telah berdiri di depan makam Sholahudin Al-Ayyubi seraya berteriak: “Wahai Sholahudin kami datang kembali”.
Alam Islami diselimuti kabut tebal, tak tahu kapan kabut itu berubah menjadi hujan.
India merintih… Mesir merunduk sedih, menangis terisak atas kematianmu… Syam tertegun bertanya-tanya… Iraq dan Persia telah hilang dari bumi khilafah.
ahmadzain.wordpress.com
(1) Dalam bukunya “Daulah Utsmaniyah” Dr. Jamal Abdul Hadi, salah seorang pakar sejarah dari Mesir, menyebutkan beberapa sarana yang dimanfaatkan Yahudi Eropa untuk menghancurkan kekuatan pemerintahan Islam di Turki waktu itu. Diantaranya adalah dengan menghidupkan faham Nasionalisme.
Di dalam buku setebal 163 halaman tersebut, beliau menjelaskan permasalahan di atas sebagai berikut :
“ …mereka berusaha memporak-porandakan negeri Islam ini dari dalam, ingin menghancurkannya lewat tangan putra-putranya sendiri. Yaitu dengan cara mendukung dan membujuk partai-partai oposan, agar membentuk tandzim-tandzim rahasia dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Islam. Partai-partai oposan tersebut diantaranya adalah: Partai Pemuda, Partai Persatuan dan Pengembangan, dan Partai Kamaliyyun. Selain cara itu, mereka juga menghidupkan faham Nasionalisme di kalangan umat Islam, serta menaburkan benih perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain. Karena dari situ akan terbuka jalan lebar bagi kekuatan asing untuk ikut campur tangan dengan dalih keamanan”. (Dr. Jamal Hadi, Daulah Utsmaniyah, juz: 2, hal. 20)
(2) Apa yang diungkapkan Dr. Jamal Hadi tersebut, dikuatkan dengan pendapat muwafik Bani Marjah. Di dalam tesisnya yang berjudul “Sultan Abdul Hamid (khilafah Islamiyah)”, penulis yang pernah melalang benua ke kota-kota di Eropa dan Arab untuk memburu data-data yang sah tentang Khilafah Utsmaniyah tersebut menjelaskan sebagai berikut :
“Eropa telah berpengalaman dalam menebarkan faham Nasionalisme dan menyalakan api perselisihan antar kelompok dan suku, terutama antara bangsa Turki, mereka membentuk kedutaan dan konsulat di berbagai kota untuk mencapai tujuannya, seperti di Istambul, Damaskus, Baghdad, Cairo, dan Jeddah.” (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid wal Khilafah Utsmaniyah, hal. 174)
(3) Begitu juga apa yang ditulis pakar sejarah “Mahmud Syakir” di dalam bukunya “Tarikh Islam” menunjukkan hal yang serupa. Di dalam juz ke-8, beliau menjelaskan:
“… dan mungkin hal yang terpenting adalah kelompok yang bergerak untuk menyebarkan paham Nasionalisme, mereka tidak mempunyai gerakan yang berarti untuk meruntuhkan Daulah Islamiyah kecuali dengan “menyebarkan paham Nasionalisme”. Oleh karena itu, mereka bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Dan ternyata paham Nasionalisme tersebut merupakan unsur terpenting di dalam melemahkan kekuatan Daulah Islamiyah, karena umat Islam dengan Nasionalisme akan tercerai-berai, saling berselisih, masing-masing ingin bergabung dengan suku dan kelompoknya, ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah, dan cukuplah dengan gerakan untuk memisahkan diri tersebut akan terkotak-kotaklah kekuatan umat, dengan demikian Daulah akan melemah dan terputus jaringannya dan akhirnya ambruk… begitulah yang terjadi.” (Mahmud Syakir, Tarikh Islam, Al-Maktab Islami, 1991 M, juz: 8, hal. 122)
Bermula dari munculnya berbagai propaganda ke arah Nasionalisme Thoriah, yang dipelopori oleh Partai Persatuan dan Pengembangan, mereka memulai gerakannya dengan men-Turki- kan Daulah Utsmaniah di Turki.
Untuk menopang dakwahnya ini, mereka menjadikan serigala (sesembahan bangsa Turki sebelum datangnya Islam) sebagai syiar dari gerakannya tersebut.
(Muhammad Muhammad Husain, Ittijahat Wathoniyah, juz: 2, hal. 85)
Partai ini dipimpin oleh Ahmad Ridho dan berpusat di Paris.
Usaha-usaha yang dilakukan partai ini antara lain:
1. Membuka cabang-cabang di Berlin, Salonik, dan Istambul.
2. Menerbitkan majalah “ANBA”. Majalah tersebut disponsori gerakan Masuniah di Paris.
3. Menyebarkan paham Nasionalisme Thouroniah dan menghidupkan kebudayaan-kebudayaan Barat di negara Turki.
4. Menyebarkan rasa permusuhan dengan bangsa Arab, diantaranya dengan adanya usaha untuk mencopot kementrian Wakaf, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian Luar Negeri, yang waktu itu dipegang oleh orang-orang Arab, untuk diganti dengan orang Turki.
5. Berusaha membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja. (Muwafiq Bani Marjah, Sulthon Abdul Hamid dan Khilafah Utsmaniah, hal. 174)
Gerakan itu membuat bangsa Arab berang, akibatnya dalam waktu singkat bermunculan gerakan “Fanatisme Arab” dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Iraq, dan Hijaz.
Bermula dari pelataran bumi Syam, fanatisme ini berkembang dan membesar. Fanatisme ini bertujuan untuk menumbangkan khilafah Utsmaniah yang dipegang oleh orang Turki. Lebih ironis lagi, fanatisme ini dikendalikan oleh orang-orang Nasrani Libanon, yang telah terbina dalam pendidikan Barat. Diantara para tokohnya adalah Faris Namir dan Ibrahim Yasji.
Gerakan fanatisme arab ini didorong lebih jauh lagi oleh Negib Azoury, seorang kristen pegawai pemerintahan Utsmani di Palestina. Ia berhasil menerbitkan buku “Le Revell de la nation arabe”. Di dalam bukunya tersebut, ia mengutarakan gagasannya untuk membuat suatu arab empire yang mempunyai batas-batas alami, yaitu: lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Lautan Tengah. Gagasan ini jelas akan mendorong lebih cepat terciptanya separatisme wilayah arab dari kekuasaan Turki Utsmani. (Azyumardi Azra, Islam dan Negara: Eksperimen Dalam Masa Modem)
Agar penyebaran fanatisme ini lebih aman dan mendapat dukungan, mereka menggunakan nama Jam’iyah sebagai kedok.
Jam’iyah ini bergerak di dalam bidang keilmuan dan kesenian dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan mempromosikan budaya-budaya barat di negara-negara Arab.
Dalam waktu dua tahun saja, Jam’iyah ini mampu merekrut 50 anggota dari kalangan Nasrani semuanya. Jam’iyah ini mendukung penuh gerakan Protestan yang berada di wilayah Syam.
Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia I, kesempatan bagi bangsa-bangsa Arab untuk memisahkan diri dari khilafah Utsmaniah, mereka ingin mendirikan “Khilafah Arabiyah” sebagai tandingannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Inggris untuk memporak-porandakan kekuatan Islam.
Eropa mengerti betul bahwa perpecahan antara Arab dan Turki akan mengakibatkan kekuatan Islam lemah, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Abduh :
“ Sesungguhnya bangsa Arab mampu untuk mendepak orang-orang Turki dari kursi kekhalifahan, akan tetapi bangsa Turki tidak rela begitu saja. Apalagi waktu itu bangsa Turki mempunyai kekuatan militer yang tidak dimiliki oleh pihak lain, dengannya mereka akan menyerang dan membunuh bangsa Arab. Maka apabila kedua kekuatan itu melemah, Eropalah yang menjadi kuat –mereka sudah lama menunggu antara pertarungan umat Islam tersebut-, kemudian berusaha untuk menguasai kedua bangsa tersebut atau salah satunya yang terlemah. Padahal waktu itu bangsa Arab dan bangsa Turki merupakan bangsa yang terkuat di dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, akibat dari pertarungan kedua bangsa itu, jelas akan melemahkan kekuatan Islam sekaligus merupakan jalan pintas meunuju kehancurannya.” (Dr. Muhammad Imaroh, Al-Jam’iyah Al-Islamiyah wal Fikroh Al-qoumiyah, Daar Assyuruq 1414-1994, hal. 53, 54)
Mengetahui yang demikian, diutuslah “Lorence”, spionis Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan “Lorence Arab”. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan khilafah Utsmaniah di Turki, tentunya di bawah bimbingan dan arahan Lorence Arab ini.
Tentara-tentara Arab berkumpul dan bersatu dengan kekuatan-kekuatan asing.
Jauh-jauh sebelum persekongkolan untuk menghancurkan Khilafah Utsmaniah itu dilakukan, Inggris telah menjanjikan Syarif Husain, pembesar Makkah waktu itu, apabila khalifah Utsmaniah jatuh maka Syarif Husain akan menjadi kholifah pengganti.
Namun kenyataannya, setelah rencana itu berhasil dan perang telah usai, seperti kebiasaannya, Inggris menyelisihi janjinya, dua perwakilan yang diundang Syarif Husain dalam acara penyerahan kekuasaan yang diadakan di Jeddah tak mau hadir, bahkan pada waktu itu Inggris membuka kartu yang selama ini disimpan.
Ternyata tiga negara besar telah berkolusi untuk membagai wilayah Khilafah Utsmaniah pada perjanjian rahasia antara Inggris, Perancis, dan Rusia.
Pada waktu itu juga, Musthafa Kamal sang pengkhianat itu, berhasil merebut tampuk kepemimpinan dari keluarga Utsmaniah. Tampaknya hal itu telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya, yaitu ketika Ia memimpin gerakan Kamailun, yang melakukan aktifitasnya di bawah tanah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari gerakan Masuniah Internasional. (Dr. Jamal Abdul Hadi, Al-Mujtama’ Al-Islamy Al-Mu’ashir, Al-Wafa’, juz I, hal. 59)
Puncaknya pada muktamar “Luzone”, yang akhirnya, Musthafa Kamal menerima 4 syarat yang diajukan Inggris untuk mengakui kekuasaan barunya di Turki. Ke-empat syarat itu adalah :
1. Menghapus sistem khilafah.
2. Mengasingkan keluarga Utsmaniah di luar perbatasan.
3. Memproklamirkan berdirinya negara sekuler.
4. Pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
(Mahmud Syakir, Tarikh Islam, juz: 8, hal. 233)
Pada waktu itu secara resmi, “The SickMan” telah tumbang, setelah enam abad lamanya berkuasa.
Yach… akhirnya Khlafah Utsmaniah harus tumbang, menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Perang Dunia I yang berlangsung selama 4 tahun (1914-1918) itu.
Setelah berdiri tegar berabad-abad lamanya membela kemuliaan, akhirnya bangunan yang kokoh itu runtuh. Runtuh bukan karena serangan dari musuh-musuh luarnya, akan tetapi runtuh di tangan putra-putranya sendiri.
Setelah keruntuhan benteng terakhir umat Islam itu, bangsa Arab sadar, bahwa mereka telah terkecoh rayuan Inggris dan secara tidak sadar ikut andil di dalam meruntuhkan Khilafah Utsmaniah, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Kegagalan mereka untuk mendirikan Khilafah Arobiyah, membuat mereka kehilangan nyali untuk mulai bergerak lagi, mereka telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang kehilangan induknya.
Kalaupun ada usaha-usaha mereka, yang sempat ditulis sejarah untuk mengembalikan kemuliaan mereka kembali, itupun hanya sebatas surat menyurat antara Syarif Husain dan Musthafa Kamal.
Akan tetapi apa yang diharapkan bangsa Arab dari seorang fanatik Turki yang membenci bangsa Arab itu sendiri?
Begitulah permisalan syaithan ketika Ia berkata kepada manusia “kafirlah” tatkala Ia telah kafir tiba-tiba syaithan berlepas diri.
Pada detik-detik keruntuhan Khlafah Utsmaniah, nun jauh di sana orang-orang Nasrani berpesta-pora, kesempatan yang mereka tunggu berabad-abad telah tiba, kedengkian dan kesumat selama ini telah tersampaikan. Jendral Ghordh, pimpinan pasukan Prancis telah berdiri di depan makam Sholahudin Al-Ayyubi seraya berteriak: “Wahai Sholahudin kami datang kembali”.
Alam Islami diselimuti kabut tebal, tak tahu kapan kabut itu berubah menjadi hujan.
India merintih… Mesir merunduk sedih, menangis terisak atas kematianmu… Syam tertegun bertanya-tanya… Iraq dan Persia telah hilang dari bumi khilafah.
ahmadzain.wordpress.com
Palestina Takluk Setelah Tumbangnya Turki Utsmaniyah
Posted: 26 Maret 2009 by Abu Abdurrahman in Al Aqsasejak tumbangnya Turki Utsmani tahun 1924 di tangan Zionis Mustafa Kemal Attaturk, Zionis merasa puas dan bangga karena telah berhasil menumbangkan Khilafah Islamiyah dari dunia Islam.
Runtuhnya kekhalifahan Islam di Turki merupakan bencana terbesar bagi dunia Islam. Karena membuat kaum Muslimin tidak lagi hidup dalam sentral kepemimpinan dan hidup dalam perpecahan. Sebagai konsekuensinya tanggal 14 Maret 1948 Zionis mengikrarkan berdirinya negara Israel Raya untuk menguasai dunia.
Harapan Sultan Hamid untuk mempertahankan al-Quds dan Masjid al-Aqsha pupus bersamaan runtuhnya Turki Utsmaniyah tahun 1924. Rupanya benar apa yang dikatakan Theodore Hertzl saat Konferensi Zionis International I di Basel tahun 1897. Hertzl mengatakan pembebasan Palestina oleh bangsa Yahudi sangat tergantung dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah. Dengan runtuhnya Turki Utsmaniyah tidak ada lagi kekuatan yang dapat mempersatukan dan melindungi umat Islam secara menyeluruh.
Apalagi sejak Israel menang Perang melawan Arab Saudi selama enam hari tahun 1967. Aksi Zionis semakin liar dan menjadi-jadi dengan terus menjajah dan menawan rakyat Jerussalem Timur. Masjid al-Aqsha dan Baitul Maqdis yang merupakan kiblat pertama umat Islam terus dikuasai oleh Yahudi secara politik dan perundangan. Sehingga umat Islam di Palestina dan dunia Islam tidak dapat mengunjunginya secara bebas.
Mereka harus mendapat izin dahulu melalui chek poin melewati pos-pos penjagaan super ketat serdadu Israel. Bahkan saat ini yang boleh shalat di Masjid al-Aqsha hanyalah yang berusia di atas 40 tahun.
etelah dijajah Zionis Masjid al-Aqsha terus mengalami berbagai peristiwa yang mewarnai kedukaan umat Islam. Pada 21 Agustus 1969, al-Aqsha telah diserang dan dibakar oleh zionis Israel. Termasuk bagian Masjid al-Haram al-Sharif bahkan mimbar Masjid bersejarah berusia 1000 tahun yang didatangkan dari Aleppo pada zaman Salahudin al-Ayyubi pun ikut hangus terbakar. Konspirasi ini dilakukan oleh Michael dan Penganut Kristian Evangelical serta sekutunya.
Presiden Sekretariat Himpunan Ulama Asia Tenggara Abdul Ghani Samsudin mengungkapkan Nuwaf al-Zorou dalam karyanya berjudul “Empat Teori Meruntuhkan al-Aqsho” disebutkan sepuluh peringkat atau tahapan Zionis Israel untuk meruntuhkan Masjid al-Aqsho. Pertama dimulai tahun 1967 hingga tahun 1968 dengan menggali terowongan sedalam 70 meter di bawah dinding selatan Masjid al-Aqsha dan di belakang menara adzan Masjid.
Zionis terus melakukan penggalian itu hingga tahapan ke sepuluh yaitu peresmian pembukaan terowongan ‘Hasymunaiem’ sepanjang 250 meter pada Hari Perayaan Ghufran Yahudi, Senin 24 September 1996. Peristiwa ini memicu pertempuran besar antara mujahid Palestina melawan Zionis, darah para syuhada pun berguguran membasahi bumi Palestina. Meski demikian Zionis laknatullah tetap meneruskan penggalian terowongan itu hingga 400 meter.
Penggalian itu hingga kini masih berlanjut dengan dalih mencari peninggalan Ibrani untuk mengungkap peninggalan Haikal Sulaeman. Dalam hal pendanaan mereka membuat “Kotak pembangunan kembali Haikal Sulaiman,” sehingga berhasil mengumpulkan dana yang sangat besar dari kalangan Yahudi dan sekutunya di dunia.
Pertempuran demi pertempuran terus terjadi antara pejuang Palestina dengan tentara zionis. Pertempuran Intifadhah kembali terjadi ketika Perdana Menteri Israel Ariel Sharon mengunjungi Palestina pada 28 September 2000. Kunjungan pimpinan Partai Likud itu dikawal dengan 600 tentara bersenjata lengkap dan 3000 pasukan yang berjaga-jaga di sekitar Jerusalem. Aksi show of force formal ini menegaskan kesepakatan secara implisit dukungan Sharon terhadap aksi brutal dan arogansi yang terjadi di bumi Palestina.
Pernyataannya yang tak berperikemanusian itu mengundang semangat jihad mujahid Palestina sehingga meletuslah pertempuan sengit Intifadhah yang merenggut lima orang syahid dan ratusan lainnya luka-luka.
Tahun demi tahun berjalan, namun ambisi zionis untuk menguasai Palestina tak pernah memudar. Mereka terus mengusir waga Palestina dari tanah kelahiran mereka. Berdasarkan data dari PBB tahun 2006 bangsa Palestina telah menjadi bangsa terusir dengan jumlah besar dalam sejarah modern dan tersebar di 58 kamp Yordania, Suriah, Libanon, Tepi Barat dan Gaza yang jumlahnya mencapai 4.448.429 orang. Sedangkan jumlah warga Palestina yang tewas dibantai Israel sejak meletusnya Intifadhoh tahun 2000 hingga 31 Maret 2008 mencapai 4.608 orang.
Siapakah dalang dibalik Israel? ternyata negara adidaya Amerika dan sekutunya turut berperan dan menjadi sponsor utama. Pada tahun 2004 Amerika telah menyalurkan 2,3 miliar dolar untuk bantuan militer dan 500 juta dolar bantuan ekonomi. Bantuan AS tersebut tentunya memiliki misi terselubung yakni kepentingan politik di Timur Tengah. Sebab hanya Israel yang bisa membantu AS dalam mencapai agenda busuknya.
Pembantaian, penyiksaan dan pelanggaran HAM kerap dilakukan tentara Israel tehadap warga Palestina PBB dan OKI sebagai organisasi perdamaian dunia hanya bisa diam seribu bahasa tak berkutik. Bulan Juni 2002 Israel membangun tembok Apartheid sepanjang 721 KM, dengan tinggi 25 kaki atau hampir 8 meter. Dalam jarak tertentu, dibangun sebuah tower, tempat tentara-tentara Israel biadab berjaga dan mengintai. Sepanjang tembok dipasangi alat pendeteksi panas tubuh manusia, kamera pengintai infamerah, dialiri listrik dan sniper yang siap tembak.
Tembok biadab ini memisahkan ayah dengan anaknya, istri dengan suami dan keluarga Palestina. Sebanyak 60.500 kaum muslimin Palestina terpisah karena pembangunan tembok ini. Tembok ini membentang dan membelah 42 kota dan perkampungan yang dilaluinya. Sebanyak 12 kampung dengan 31.400 orang penduduknya terkepung tak bisa ke mana-mana atau diakses oleh siapapun. Makanan tak ada. Obat-obatan pun langka. Selimut untuk menghalau dingin yang menggigit, benar-benar seadanya.
Berbagai upaya telah dilakukan kaum muslimin di dunia untuk membebaskan Masjid al-Aqsha dari cengkaraman zionis namun belum membuahkan hasil yang nyata. Diantara penyebabnya adalah rasa kebangsaan yang tinggi dan kepentingan politik yang masih mewarnai negeri-negeri Islam. Terakhir diselenggarakan Deklarasi Istanbul di Irak pada November 2007 yang menghasilkan kesepakatan untuk membebaskan Masjid al-Aqsha dari penjajah Zionis, namun hingga kini belum ada hasil yang konkrit.
Seandainya negara-negara Islam di sekitar Palestina mau membantu dan membuka akses bagi para mujahidin masuk ke wilayah Palestina pasti Zionis Israel dapat ditendang ke luar bumi palestina.
Berkaitan dengan itulah DR Usamah Jam’ah al-Asyqar, General Manajer Palestines Establishment of Culture Suriah menjelaskan kondisi Palestina saat ini masih dalam gengaman zionis yang membuat umat Islam di belahan dunia resah. Ia berharap masing-masing umat Islam berusaha membantu dengan berbagai cara baik dengan senjata, fisik, material, dana maupun pemikiran. Hal senada juga diungkapkan Perdana Menteri Palestina Ismail Haniya, yang menghimbau agar para pejuang Palestina bersatu padu demi mempertahankan dan membebaskan al-Aqsa dari cengkraman zionis Israel. (Andy/Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar