Menentukan Kriteria Pasangan, Perlukah?
Kali ini Ani benar-benar stres. Asih temannya baru saja melakukan manuver tak terduga. Beberapa saat yang lalu. Asih telah mendatangi orang tuanya untuk mempromosikan seorang pria, “Pokoknya orang ini baik deh tante. Saya yakin dia cocok untuk Ani, jadi saya tau deh sifat-sifatnya.” Ibunya termakan provokasi ini. Sejak tadi ibu mempromosikan pria itu kepadanya.
Ani bukannya tak senang atas usaha teman baiknya ini. Usianya kini telah 25 tahun, ia memang sudah sangat ingin untuk menikah. Tapi ia tidak ingin membina hubungan khusus dengan pria. “Islam melarang kita pacaran.” Begitu katanya, tatkala ibu terus menanyakan mengapa tak seorangpun pria pernah berkunjung ke rumah untuk berkenalan dengan ibu. Makanya ketika Asih datang kepadanya menawarkan pria itu, ia pun sangat bersyukur. Persoalannya adalah Asih terlalu mendesak dan ingin Ani segera menerima tawarannya itu. “Kamu kayak gak percaya aja sama aku.” Ia kini benar-benar terpojok.
Ia sepertinya tidak diberikan kesempatan untuk memilih dan mengidamkan pria idealnya.
Ani tidak seorang diri menghadapi persoalan ini. Ini adalah masalah umum bagi seseorang yang telah memasuki masa dewasa muda (20-30 th), pada masa ini orang telah dapat memulai kehidupan dengan memilih dan menentukan kedudukannya ditengah masyarakat. Ia telah mampu menilai ide-ide yang telah didapatinya dari dunia secara umum, mengajukan perencanaan karir, mengambil peran dalam keluarga dan masyarakat, menyeleksi kawan hidup dan menikah. Dua hal terakhir inilah yang sedang menjadi masalah bagi Ani.
Lalu bagaimanakah sebaiknya kita memilih pasangan? Perlukah kita menetapkan kriteria ideal pasangan kita? Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, ada baiknya kita pahami apa sebenarnya pernikahan itu.
Pernikahan adalah suatu hubungan antara dua orang, pria dan wanita, yang diketahui oleh umum, diatur melalui suatu aturan tertentu baik oleh agama, negara, maupun adat istiadat dalam masyarakat. Selain itu ada beberapa unsur dalam pernikahan yang perlu diperhatikan. Unsur-unsur ini telah diungkapkan oleh Stinnett dalam Lifespan Development (1984). Ia mengatakan bahwa dalam pernikahan terkandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Komitmen
Tiap orang ingin merasakan ada yang memperhatikan dirinya tanpa pamrih. Pernikahan merupakan ekspresi dari dedikasi pada seseorang. Upacaranya sendiri merupakan symbol dari pengabdian ini.
b. One to one relationship.
Tiap orang ingin dekat dengan orang lain berdasarkan kedekatan emosi, seperti rasa percaya diri, mengasihi, menghargai, dan intim. Salah satu tugas perkembangan dari usia dewasa muda adalah belajar intim dengan orang lain.
c. Bekerja sama (companionship) dan berbagi (sharing)
Pernikahan adalah cara untuk mengusir kesepian dan rasa teriolasi. Dengan menikah, kita belajar untuk bekerja sama, dan saling berbagi/sharing. Sharing, paling penting dalam hubungan. Bila pasangan bisa sharing dan kebutuhannya saling terpenuhi, mereka akan lebih mencapai kepuasan.
d. Love
Seseorang ingin merasakan mencintai dan dicintai. Hidup akan terasa hampa bila kita tidak memiliki pasangan hidup yang kita cintai dan mencintai kita.
e. Kebahagiaan (happiness)
Orang berfikir bahwa dengan menikah ia akan bahagia. Tetapi harus diingat bahwa bahagia tidak berasal dari pernikahan tapi tergantung bagaimana individu itu berinteraksi dengan pasangannya.
f. Legitimasi dari seks dan anak
Pernikahan merupakan pengesahan social dari perilaku seksual dan memiliki anak.
Kriteria Ideal, Perlukah?
Ani. seperti setiap orang yang lain pasti memiliki kriteria-kriteria ideal adalah memilih pasangan hidupnya. Ia tentu menginginkan sifat/karakteristik/kondisi yang dia idam-idamkan ada pada calon pasangannya. Kriteria ini lahir dari prinsip yang diyakini dan dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitar.
Di samping kriteria ideal versi dirinya sendiri, didalam memilih calon pasangan hidup, biasanya seseorang juga akan menghadapi kriteria ideal yang disodorkan oleh orang tuanya/keluarga maupun oleh lingkungan pergaulannya.
Namun dalam beberapa kasus pemilihan calon pasangan hidup yang hanya berdasarkan pada kriteria ideal, sering kali mempersulit langkah orang tersebut dalam mendapatkan pasangan hidup. Pematokan kriteria ideal yang terlalu tinggi, rasa dibutuhkan mukjizat, atau setidak-tidaknya keberuntungan yang besar untuk mendapatkannya. Hal ini akan sangat potensial bagi timbulnya kesulitan dalam mendapatkan calon pasangan hidup.
Jangan pernah berfikir akan mendapatkan sosok yang sempurna, karena setiap orang membawa kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita boleh saja mengharapkan pendamping yang sempurna tanpa cela, asalkan kita juga bisa membuktikan bahwa kita sosok yang sempurna tanpa cela. Kita harus mau dan mampu untuk berlapang dada menerima kekurangan calon pasangan hidup kita karena pada saat yang sama calon pasangan kita juga telah melapangkan dada untuk menerima segala kekurangan kita.
Meskipun begitu penyusunan kriteria ideal tetap kita idamkan. Ada dua kriteria utama yaitu:
1. Paling Sedikit Potensi Timbulnya Konflik
Jika seorang wanita ingin menjadi wanita karir yang bebas membangun karirnya di luar rumah, tentu akan mencari calon suami yang mendukung keinginnannya tersebut. Mendapatkan suami yang mendukung keinginnya tersebut.
Mendapatkan suami yang mengharuskan tinggal di rumah saja tentu akan menjadi potensi konflik dalam rumah tangga. Contoh di atas menggambarkan bagaimana seseorang mencari calon pasangan dengan kriteria tertentu agar dapat memperkecil potensi konflik. Semua orang punya kecenderungan untuk mencari pasangan yang kira-kira tidak “menghambat” dirinya.
Hal ini syah-syah saja, hanya yang perlu diingat, jangan sampai terjebak pada egoisme yang sempit dan kaku. Ketika kita menetapkan kriteria calon pasangan yang tidak “mengahambat” sebenarnya kita sedang berfikir egois, bahwa kita punya keinginan/sifat seperti ini dan calon pasangan kita harus mau mengikuti keinginan/sifat kita tersebut. Jadi tempatkanlah segala sesuatunya secara proporsional dan realistis, apalagi jika keinginan kita itu tidak menyangkut hal yang prinsip, seperti keinginan menjalankan ibadah dengan tenang dan lain-lain.
2. Paling besar potensi untuk mencapai rumah tangga yang diidam-idamkan
Jika seseorang mengatakan bahwa calon pasangannya haruslah orang yang mempunyai pemahaman agama yang baik, bisa jadi secara implisit dia mengatakan bahwa kembali ke ajaran agama adalah prinsip yang ingin dia terapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, sehingga mempunyai pasangan hidup yang pemahaman agamanya bagus diharapkan akan membantu mencapai keinginannya tersebut.
Jadi patut saja Ani merasa stres. Ia tentu tak ingin sembarangan memilih pasangan hidup. Yang perlu kita ingatkan agar ia jangan pula terlalu muluk, dalam menetapkan kriteria calon suami.
Inna Mutmainnah, S.Psi.
Sumber : Majalah Safina No. 1/Th.I
sumber : eramuslim.com
Kali ini Ani benar-benar stres. Asih temannya baru saja melakukan manuver tak terduga. Beberapa saat yang lalu. Asih telah mendatangi orang tuanya untuk mempromosikan seorang pria, “Pokoknya orang ini baik deh tante. Saya yakin dia cocok untuk Ani, jadi saya tau deh sifat-sifatnya.” Ibunya termakan provokasi ini. Sejak tadi ibu mempromosikan pria itu kepadanya.
Ani bukannya tak senang atas usaha teman baiknya ini. Usianya kini telah 25 tahun, ia memang sudah sangat ingin untuk menikah. Tapi ia tidak ingin membina hubungan khusus dengan pria. “Islam melarang kita pacaran.” Begitu katanya, tatkala ibu terus menanyakan mengapa tak seorangpun pria pernah berkunjung ke rumah untuk berkenalan dengan ibu. Makanya ketika Asih datang kepadanya menawarkan pria itu, ia pun sangat bersyukur. Persoalannya adalah Asih terlalu mendesak dan ingin Ani segera menerima tawarannya itu. “Kamu kayak gak percaya aja sama aku.” Ia kini benar-benar terpojok.
Ia sepertinya tidak diberikan kesempatan untuk memilih dan mengidamkan pria idealnya.
Ani tidak seorang diri menghadapi persoalan ini. Ini adalah masalah umum bagi seseorang yang telah memasuki masa dewasa muda (20-30 th), pada masa ini orang telah dapat memulai kehidupan dengan memilih dan menentukan kedudukannya ditengah masyarakat. Ia telah mampu menilai ide-ide yang telah didapatinya dari dunia secara umum, mengajukan perencanaan karir, mengambil peran dalam keluarga dan masyarakat, menyeleksi kawan hidup dan menikah. Dua hal terakhir inilah yang sedang menjadi masalah bagi Ani.
Lalu bagaimanakah sebaiknya kita memilih pasangan? Perlukah kita menetapkan kriteria ideal pasangan kita? Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, ada baiknya kita pahami apa sebenarnya pernikahan itu.
Pernikahan adalah suatu hubungan antara dua orang, pria dan wanita, yang diketahui oleh umum, diatur melalui suatu aturan tertentu baik oleh agama, negara, maupun adat istiadat dalam masyarakat. Selain itu ada beberapa unsur dalam pernikahan yang perlu diperhatikan. Unsur-unsur ini telah diungkapkan oleh Stinnett dalam Lifespan Development (1984). Ia mengatakan bahwa dalam pernikahan terkandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Komitmen
Tiap orang ingin merasakan ada yang memperhatikan dirinya tanpa pamrih. Pernikahan merupakan ekspresi dari dedikasi pada seseorang. Upacaranya sendiri merupakan symbol dari pengabdian ini.
b. One to one relationship.
Tiap orang ingin dekat dengan orang lain berdasarkan kedekatan emosi, seperti rasa percaya diri, mengasihi, menghargai, dan intim. Salah satu tugas perkembangan dari usia dewasa muda adalah belajar intim dengan orang lain.
c. Bekerja sama (companionship) dan berbagi (sharing)
Pernikahan adalah cara untuk mengusir kesepian dan rasa teriolasi. Dengan menikah, kita belajar untuk bekerja sama, dan saling berbagi/sharing. Sharing, paling penting dalam hubungan. Bila pasangan bisa sharing dan kebutuhannya saling terpenuhi, mereka akan lebih mencapai kepuasan.
d. Love
Seseorang ingin merasakan mencintai dan dicintai. Hidup akan terasa hampa bila kita tidak memiliki pasangan hidup yang kita cintai dan mencintai kita.
e. Kebahagiaan (happiness)
Orang berfikir bahwa dengan menikah ia akan bahagia. Tetapi harus diingat bahwa bahagia tidak berasal dari pernikahan tapi tergantung bagaimana individu itu berinteraksi dengan pasangannya.
f. Legitimasi dari seks dan anak
Pernikahan merupakan pengesahan social dari perilaku seksual dan memiliki anak.
Kriteria Ideal, Perlukah?
Ani. seperti setiap orang yang lain pasti memiliki kriteria-kriteria ideal adalah memilih pasangan hidupnya. Ia tentu menginginkan sifat/karakteristik/kondisi yang dia idam-idamkan ada pada calon pasangannya. Kriteria ini lahir dari prinsip yang diyakini dan dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitar.
Di samping kriteria ideal versi dirinya sendiri, didalam memilih calon pasangan hidup, biasanya seseorang juga akan menghadapi kriteria ideal yang disodorkan oleh orang tuanya/keluarga maupun oleh lingkungan pergaulannya.
Namun dalam beberapa kasus pemilihan calon pasangan hidup yang hanya berdasarkan pada kriteria ideal, sering kali mempersulit langkah orang tersebut dalam mendapatkan pasangan hidup. Pematokan kriteria ideal yang terlalu tinggi, rasa dibutuhkan mukjizat, atau setidak-tidaknya keberuntungan yang besar untuk mendapatkannya. Hal ini akan sangat potensial bagi timbulnya kesulitan dalam mendapatkan calon pasangan hidup.
Jangan pernah berfikir akan mendapatkan sosok yang sempurna, karena setiap orang membawa kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita boleh saja mengharapkan pendamping yang sempurna tanpa cela, asalkan kita juga bisa membuktikan bahwa kita sosok yang sempurna tanpa cela. Kita harus mau dan mampu untuk berlapang dada menerima kekurangan calon pasangan hidup kita karena pada saat yang sama calon pasangan kita juga telah melapangkan dada untuk menerima segala kekurangan kita.
Meskipun begitu penyusunan kriteria ideal tetap kita idamkan. Ada dua kriteria utama yaitu:
1. Paling Sedikit Potensi Timbulnya Konflik
Jika seorang wanita ingin menjadi wanita karir yang bebas membangun karirnya di luar rumah, tentu akan mencari calon suami yang mendukung keinginnannya tersebut. Mendapatkan suami yang mendukung keinginnya tersebut.
Mendapatkan suami yang mengharuskan tinggal di rumah saja tentu akan menjadi potensi konflik dalam rumah tangga. Contoh di atas menggambarkan bagaimana seseorang mencari calon pasangan dengan kriteria tertentu agar dapat memperkecil potensi konflik. Semua orang punya kecenderungan untuk mencari pasangan yang kira-kira tidak “menghambat” dirinya.
Hal ini syah-syah saja, hanya yang perlu diingat, jangan sampai terjebak pada egoisme yang sempit dan kaku. Ketika kita menetapkan kriteria calon pasangan yang tidak “mengahambat” sebenarnya kita sedang berfikir egois, bahwa kita punya keinginan/sifat seperti ini dan calon pasangan kita harus mau mengikuti keinginan/sifat kita tersebut. Jadi tempatkanlah segala sesuatunya secara proporsional dan realistis, apalagi jika keinginan kita itu tidak menyangkut hal yang prinsip, seperti keinginan menjalankan ibadah dengan tenang dan lain-lain.
2. Paling besar potensi untuk mencapai rumah tangga yang diidam-idamkan
Jika seseorang mengatakan bahwa calon pasangannya haruslah orang yang mempunyai pemahaman agama yang baik, bisa jadi secara implisit dia mengatakan bahwa kembali ke ajaran agama adalah prinsip yang ingin dia terapkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, sehingga mempunyai pasangan hidup yang pemahaman agamanya bagus diharapkan akan membantu mencapai keinginannya tersebut.
Jadi patut saja Ani merasa stres. Ia tentu tak ingin sembarangan memilih pasangan hidup. Yang perlu kita ingatkan agar ia jangan pula terlalu muluk, dalam menetapkan kriteria calon suami.
Inna Mutmainnah, S.Psi.
Sumber : Majalah Safina No. 1/Th.I
sumber : eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar