| Haji dan Amanah Sosial Oleh : Yusuf Burhanudin* |
Tak ada yang sangsi, balasan ibadah haji Mabrûr adalah surga. Mabrûr yang secara bahasa berarti baik dan dianggap sah, tidak saja cukup terkumpul padanya rukun dan syarat. Namun juga, dan ini yang lebih penting, adalah memiliki implikasi sosial terhadap pelakunya. Sebagaimana disinyalir Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, dalam suatu pengabdian (al-'ibâdah), mesti terkumpul di dalamnya tiga aspek: spirit (niat), ritus (praktek) dan pengaruh/hikmah (sosial). Demikianlah keharusan pelibatan tiga aspek tersebut, agar selanjutnya kita tidak terjebak dalam menangkap makna ibadah haji secara parsial.
Ibadah haji bukanlah produk budaya yang bisa dianggap sahih atas pertimbangan pandangan dan kebiasaan kebanyakan orang. Ibadah haji bukan pula sekedar raihan gelar atau rihlah (bepergian) spiritual, hanya untuk melihat aura ka'bah dan jejak-jejak peninggalan para teladan sepanjang zaman. Ia memiliki pertanggungjawaban ekstatologis (ukhrâwî) sekaligus mengemban amanah sosial (ardlî).
Betapa filosofi rukun Islam menempatkan ibadah haji sebagai kewajiban klimaks seorang Muslim. Dalam gizi makanan, haji ibarat minuman penyempurna setelah empat kewajiban sebelumnya. Ia disimpan sebagai rukun terakhir setelah pengorbanan lisan melalui kesaksian (syahâdah), pengorbanan waktu melalui kewajiban shalat, pengorbanan harta dengan keharusan zakat. Inilah kenapa istilah manâsik yang berarti pengorbanan, selalu digandengkan dengan ibadah haji. Tiada lain, dalam menunaikan ibadah ini senantiasa menuntut aneka pengorbanan yang selanjutnya mesti membekas pada perilaku kemanusiaannya.
Namun demikian, setelah ibadah haji, tidak berarti selesai segala-galanya. Ia, justru menjadi pintu gerbang awal menuju ibadah dan pembinaan kesalehan sosial lainnya (jihâd). Ibadah haji disebut klimaks, karena ia menjadi penutup kewajiban pengabdian seorang Muslim secara individual, bukan kewajiban sosial. Pendeknya, dari individu ke masyarakat.
Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. pernah ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Rasul menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". "Kemudian apa?", "Jihad dijalan Allah". "Kemudian apa lagi?", "Haji Mabrûr".
Haji bukanlah gengsi maupun prestasi sosial, melainkan gengsi kualitas kemanusian. Ia menjadi puncak kedewasaan mental-spiritual seorang manusia, karena yang dituju adalah Ibrahim as. sebagai Bapak manusia berkualitas (al-hanîf) sekaligus peletak pertama ibadah ini.
Karenanya, hampir dalam setiap ibadah, tak terkecuali haji, tujuannya adalah meraih ketakwaan (QS.2: 21). Secara vertikal dan horizontal, takwa bisa dimaknai sebagai sikap dan mental manusiawi dalam rangka menundukan diri terhadap perintah Allah Swt. Inilah hasil dari pendidikan suatu ibadah. Dari hati (al-niyyat) turun ke praktik fisik secara lahir (manâsik), kemudian menjelma menjadi sebentuk sikap sosio-relijius (al-Taqwâ).
Haji yang mabrûr adalah haji yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang baik secara individu maupun sosial. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrûr yang maqbûl, yang pahalanya diterima di sisi Tuhan. Wallâhu a’lam.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syarî’ah wa al-Qânûn (Islamic Law and Juriprudence Faculty), al-Azhar University, Cairo-Egypt.
sumber : pesantrenvirtual.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar