Sejarah Negara Brunai Darussalam
Brunei
Darussalam merupakan negara kerajaan dengan mayoritas penduduknya
beragama Islam. Negara tersebut terletak di bagian utara Pulau
Kalimantan (Borneo) dan berbatasan dengan Malaysia.Berdasarkan data
statistik, penduduk Brunei Darusalam hanya berjumlah 370 ribu orang.
Sekitar 67 persen dari total populasinya beragama Islam, Buddha 13
persen, Kristen 10 persen, dan kepercayaan lainnya sekitar 10 persen.
Di
lihat dari sejarahnya, Brunei adalah salah satu kerajaan tertua di Asia
Tenggara. Sebelum abad ke-16, Brunei memainkan peranan penting dalam
penyebaran Islam di Wilayah Kalimantan dan Filipina. Sesudah merdeka di
tahun 1984, Brunei kembali menunjukkan usaha serius dalam upaya
penyebaran syiar Islam, termasuk dalam suasana politik yang masih baru.
Di
antara langkah-langkah yang diambil ialah mendirikan lembaga-lembaga
modern yang selaras dengan tuntutan Islam. Sebagai negara yang menganut
sistem hukum agama, Brunei Darussalam menerapkan hukum syariah dalam
perundangan negara. Untuk mendorong dan menopang kualitas keagamaan
masyarakat, didirikan sejumlah pusat kajian Islam serta lembaga keuangan
Islam.
Tak
hanya dalam negeri, untuk menunjukkan semangat kebersamaan dengan
masyarakat Islam dan global, Brunei juga terlibat aktif dalam berbagai
forum resmi, baik di dunia Islam maupun internasional.
Sama
seperti Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam
dengan Mazhab Syafii, di Brunei juga demikian. Konsep akidah yang
dipegang adalah Ahlussunnah waljamaah. Bahkan, sejak memproklamasikan
diri sebagai negara merdeka, Brunei telah memastikan konsep ”Melayu
Islam Beraja” sebagai falsafah negara dengan seorang sultan sebagai
kepala negaranya. Saat ini, Brunei Darussalam dipimpin oleh Sultan
Hasanal Bolkiah. Dan, Brunei merupakan salah satu kerajaan Islam tertua
di Asia Tenggara dengan latar belakang sejarah Islam yang gemilang.
Agama
Islam di Brunei Darussalam diperkirakan mulai diperkenalkan sekitar
tahun 977 melalui jalur timur Asia Tenggara oleh para pedagang dari
negeri Cina. Sekitar 500 tahun kemudian, agama Islam barulah menjadi
agama resmi negara di Brunei Darussalam semenjak pemerintahannya
dipimpin oleh Raja Awang Alak Betatar. Raja Awang Alak Betatar masuk
Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Shah sekitar tahun 1406 M.
Islam
mulai berkembang dengan pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali
diangkat menjadi Sultan ke-3 Brunei pada tahun 1425. Sultan Syarif Ali
adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan cucu Rasulullah SAW, Hasan,
sebagaimana yang tercantum dalam Batu Tarsilah atau prasasti dari abad
ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, ibu kota Brunei Darussalam.
Selanjutnya,
agama Islam di Brunei Darussalam terus berkembang pesat. Sejak Malaka
yang dikenal sebagai pusat penyebaran dan kebudayaan Islam jatuh ke
tangan Portugis tahun 1511, banyak ahli agama Islam yang pindah ke
Brunei. Masuknya para ahli agama membuat perkembangan Islam semakin
cepat menyebar ke masyarakat.
Kemajuan
dan perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan
Bolkiah (sultan ke-5) yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung, seluruh
Pulau Kalimantan, Kepulauan Sulu, Kepulauan Balabac, Pulau Banggi,
Pulau Balambangan, Matanani, dan utara Pulau Palawan sampai ke Manila.
Di
masa Sultan Hassan (sultan ke-9), masyarakat Muslim Brunei memiliki
institusi-institusi pemerintahan agama. Agama pada saat itu dianggap
memiliki peran penting dalam memandu negara Brunei ke arah
kesejahteraan. Pada saat pemerintahan Sultan Hassan ini, undang-undang
Islam, yaitu Hukum Qanun yang terdiri atas 46 pasal dan 6 bagian,
diperkuat sebagai undang-undang dasar negara.
Di
samping itu, Sultan Hassan juga telah melakukan usaha penyempurnaan
pemerintahan, antara lain dengan membentuk Majelis Agama Islam atas
dasar Undang-Undang Agama dan Mahkamah Kadi tahun 1955. Majelis ini
bertugas memberikan dan menasihati sultan dalam masalah agama Islam.
Langkah
lain yang ditempuh sultan adalah menjadikan Islam benar-benar berfungsi
sebagai pandangan hidup rakyat Brunei dan satu-satunya ideologi negara.
Untuk itu, dibentuk Jabatan Hal Ehwal Agama yang tugasnya
menyebarluaskan paham Islam, baik kepada pemerintah beserta aparatnya
maupun kepada masyarakat luas.
Pada
tahun 1888-1983, Brunei berada di bawah kekuasaan Inggris. Brunei
merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan sultan ke-29, yaitu
Sultan Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah, setelah memproklamasikan
kemerdekaannya pada 31 Desember 1983. Gelar Mu’izzaddin Waddaulah
(Penata Agama dan Negara) menunjukkan ciri keislaman yang selalu melekat
pada setiap raja yang memerintah.
Dosen
dari Universitas Brunei Darusalam, Dr Haji Awang Asbol Bin Haji Mail,
menuturkan, di Brunei pihak kerajaan memainkan peranan penting dalam
perkembangan Islam. Peran ini, jelasnya, terlihat dari langkah
pemerintahan Kesultanan Brunei untuk mendirikan Pusat Kajian Islam yang
ditujukan untuk kepentingan penelitian agama Islam. Pusat kajian yang
didirikan pada 16 September 1985 ini bertugas melaksanakan program
dakwah serta pendidikan kepada pegawai-pegawai agama serta masyarakat
luas dan pusat pameran perkembangan dunia Islam.
Geliat
keislaman di Brunei Darussalam jelas terlihat pada saat hari-hari besar
Islam, seperti Maulid Nabi SAW, Nuzulul Quran, dan Isra Mikraj. Menurut
Haji Awang, pada setiap hari besar Islam, pihak Kesultanan Brunei
selalu menyelenggarakan acara perayaan. Bahkan, Sultan Hassanal Bolkiah
selaku pemimpin negara mewajibkan para pegawai kerajaan untuk menghadiri
peringatan tersebut.
Proses
pengembangan Islam ini oleh Pemerintah Brunei utamanya ditekankan pada
bidang pendidikan. Meskipun demikian, ungkap Haji Awang, langkah
mengembangkan Islam dalam sendi-sendi masyarakat di Brunei dilaksanakan
dengan hati-hati agar proses itu berjalan seimbang. Proses pengislaman
itu diatur sedemikian rupa hingga tidak memberikan dampak pada
stabilitas di dalam negeri. Itulah sebabnya dampak tragedi 11 September
tidak begitu dirasakan di kalangan masyarakat Brunei. Serbuan budaya
asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama rupanya bukan hanya
menjadi kecemasan masyarakat Muslim di Indonesia. Negara tetangga
Indonesia, Brunei Darussalam, juga mengalaminya. Adalah Deputi Menteri
Agama, Pehin Dato Ustaz Awang Haji Yahya, yang mengungkapkan
keresahannya. Dia mengaku prihatin dengan gencarnya sajian budaya asing
dewasa ini, terutama yang memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Selaras
dengan kedudukan Islam sebagai agama resmi dan adanya falsafah ”Melayu
Islam Beraja”, pemerintah kerajaan telah mendirikan beberapa lembaga
publik yang berorientasi Islam. Usaha mengislamkan hukum dengan
memasukkan syariat telah dimulai dengan beberapa langkah, termasuk studi
kelayakan, penelitian terhadap hukum yang berlaku guna memastikan tidak
ada hal yang bertentangan dengan jiwa syariat, dan berbagai seminar
mengenai penerapan hukum Islam.
Juga,
dalam usaha memberikan makna Islam dalam kehidupan ekonomi dan
keuangan. Pada akhir tahun 1980-an, dilakukan sejumlah langkah bagi
pembentukan lembaga perbankan Islam. Sementara itu, dalam sendi
kehidupan sosial, di Brunei orang-orang cacat dan anak yatim menjadi
tanggungan negara. Seluruh pendidikan rakyat (dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi) dan pelayanan kesehatan diberikan secara
gratis.[cs]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar