KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan
Majapahit Didirikan tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar
Kertarajasa Jayawardana yang merupakan keturunan Ken Arok raja
Singosari.
Raja-Raja yang pernah memerintah Kerajaan Majapahit:
- Raden Wijaya 1273 - 1309
- Jayanegara 1309-1328
- Tribhuwanatunggaldewi 1328-1350
- Hayam Wuruk 1350-1389
- Wikramawardana 1389-1429
- Kertabhumi 1429-1478
Kerajaan
Majapahit ini mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Raja
Hayam Wuruk (1350-1389). Kebesaran kerajaan ditunjang oleh pertanian
sudah teratur, perdagangan lancar dan maju, memiliki armada angkutan
laut yang kuat serta dipimpin oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada.
Di bawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan S
umpah Palapa yang berbunyi
“Ia tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara”.
Mpu
Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama menceritakan tentang zaman
gemilang kerajaan di masa Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya
tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh Hayam Wuruk di tahun 1389
dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.
Penyebab kemunduran:
Majapahit
kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya
Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan
kekuasaan daerah bawahan mulai melepaskan diri.
Peninggalan kerajaan Majapahit:
Bangunan: Candi Panataran, Sawentar, Tiga Wangi, Muara Takus
Kitab: Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca, Sitosoma oleh Mpu Tantular yang memuat slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Paraton Kidung Sundayana dan Sorandaka R Wijaya Mendapat Wangsit Mendirikan Kerajaan Majapahit.
Dua
pohon beringin di pintu masuk Pendopo Agung di Trowulan, Mojokerto. Dua
pohon beringin itu ditanam pada 22 Desemebr 1973 oleh Pangdam Widjojo
Soejono dan Gubernur Moehammad Noer.
Di belakang bangunan Pendopo
Agung yang memampang foto para Pangdam Brawijaya, terdapat bangunan
mungil yang dikelilingi kuburan umum. Bangunan bernama Petilasan
Panggung itu diyakini Petilasan Raden Wijaya dan tempat Patih Gajah Mada
mengumandangkan Sumpah Palapa.
Begitu memasuki bangunan
Petilasan Panggung, yang memiliki pendopo mini sebagai latarnya, tampak
beberapa bebatuan yang dibentuk layaknya kuburan, dinding di sekitar ”
kuburan ” itu diselimuti kelambu putih transparan yang mampu menambah
kesakralan tempat itu.
Menurut Sajadu ( 53 ) penjaga Petilasan
Panggung, disinilah dulu Raden Wijaya bertapa sampai akhirnya mendapat
wangsit mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu, ditempat ini pula
Patih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa. ” Tempat ini
dikeramatkan karena dianggap sebagai Asnya Kerajaan Majapahit ” katanya.
Pada
waktu tertentu khususnya bertepatan dengan malam jumat legi, banyak
orang datang untuk berdoa dan mengharapkan berkah. ” orang berdatangan
untuk berdoa, agar tujuannya tercapai ” kata Sajadu yang menyatakan
pekerjaan menjaga Petilasan Panggung sudah dilakukan turun-temurun sejak
leluhurnya.
Sembari menghisap rokok kreteknya, pria yang
mewarisi sebagai penjaga petilasan dari ayahnya sejak 1985 juga
menceritakan, dulunya tempat itu hanya berupa tumpukkan bebatuan. Sampai
sekarang, batu tersebut masih ada di dalam, katanya.
Kemudian
pada 1964, dilakukan pemugaran pertama kali oleh Ibu Sudarijah atau yang
dikenal dengan Ibu Dar Moeriar dari Surabaya. Baru pada tahun 1995
dilakukan pemugaran kembali oleh Pangdam Brawijaya yang saat itu dijabat
oleh Utomo.
Memasuki kawasan Petilasan Panggung, terpampang
gambar Gajah Mada tepat disamping pintu masuk. Sedangkan dibagian depan
pintu bergantung sebuah papan kecil dengan tulisan ” Lima Pedoman ” yang
merupakan pedoman suri teladan bagi warga.
Selengkapnya ” Ponco
Waliko ” itu bertuliskan ” Kudutrisno Marang Sepadane Urip, Ora Pareng
Ngilik Sing Dudu Semestine, Ora Pareng Sepatah Nyepatani dan Ora Pareng
Eidra Hing Ubaya ”
Dikisahkan Sajadu pula, Petilasan Panggung ini
sempat dinyatakan tertutup bagi umum pada tahun 1985 hingga 1995. Baru
setelah itu dibuka lagi untuk umum, sejak dinyatakan dibuka lagi, pintu
depan tidak lagi tertutup dan siangpun boleh masuk.
MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT
Kerajaan
Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk
dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Majapahit
menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya hingga ke
seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi menjadi
pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk. Menurut
para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut Raja pula.
Dalam
Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit
melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah
Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa
walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang
disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai
Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak
Gunung Semeru dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung
tersebut adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja
yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa
berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling
berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Keruntuhan Majapahit
Tersebutlah
kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah yang
masih “kapernah” kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi Sultan
Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya adalah
raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan
kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti
Tuban, Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu
Majapahit yang kafir itu.
Prajurit
Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan, karena segan berperang
dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan diri dari istana
bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden Patah dan
rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat
Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah
Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru
diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.
Cerita
ini masih dibumbui lagi, yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung
ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian
dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar
“Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina
Panatagama”.
Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit itu dapat
ditemui dalam “BABAD TANAH JAWI”. Tapi cerita senada juga terdapat dalam
“Serat Kanda”. Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya
memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati
Pengging). Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga
(Putra Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara
saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya.
Tentara
Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti
“Keris Makripat” pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama
kumbang dan “Badhong” anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan
angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota,
cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.
Karena
terdesak, Prabu Brawijaya mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta
keluarganya diiringi Patih gajah Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau
1477 Masehi. Setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak bergelar
“Panembahan Jinbun”, adipati Bintara mengutus Lembu Peteng dan jaran
panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk agama Islam. tapi beliau
tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu Brawijaya lari
kepulau Bali.
Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT KANDA
itulah yang selama ini populer dikalangan masyarakat Jawa, bahkan pernah
juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis
besar, cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal
sebenarnya sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab
seakan-akan Islam berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal
kenyataannya tidak begitu.
Selain fakta lain banyak menungkap
bahwa masuknya Islam dan berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai.
Juga fakta keruntuhan Majapahit juga menunjukkan bukan disebabkan
serbuan tentara Islam demak.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam
bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” secara panjang
lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti sejarah.
Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII
dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat
dipercaya. Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya
sejarah tentang Majapahit, seperti “Negara Kertagama dan Pararaton”.
Karena itu tidak mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak
yang cacat.
“Prasasti Petak” dan “Trailokyapuri” menerangkan,
raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan
tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai
Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan.
Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak.
Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa
Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di
Keling.
Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta
beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan
Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa,
Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit.
Penggubah
Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan
kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan
Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan
Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan
Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang
memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri
menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.
Setelah Kediri
jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali
seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan,
Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke
Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi
itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad
itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit
terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu,
demikian Dr. Slamet Muljana.
Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam
bukunya “Gajah Mada” juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja
Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling,
jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih
Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu
sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan
buku “Dari Panggung Sejarah” terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber
dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan
akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa
Muslim, dalam bukunya “Ying Yai Sheng Lan” menyebutkan, ketika
mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat
Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka.
Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi
sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana
Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik
dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi,
berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja
Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi
Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.
Salah
satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu
kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto,
JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam
angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun
1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo
ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari
bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk
huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam.
Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang
dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan
Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.
L.C.
Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun
pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan
itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang
Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota.
Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.
Satu
situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni diDesa dan
kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi,
Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang
beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini
berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam
legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang
Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan
secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-unggahan jarak
300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu.
Dari fakta
dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak
benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa
situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama
lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa.
Dikompleks
Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa
Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya
berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri
pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang
berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu
tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus,
Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam
disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau
daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk
menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi.
Untuk
menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan
sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai
sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur
candi Hindu.
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian
dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang
bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi
fenomena pemberontakan.
Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa
pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah
prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya
(dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi
pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih
setia kepada Kertarajasa.
Pemberontakan pertama sebetulnya sudah
dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang
berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi
patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309)
dapat digagalkan.
Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora,
seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun
1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan
benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas.
Pemberontakan
selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat
diduduki, sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga
istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah
Mada.
Namun dengan bantuan pasukan-pasukan Majapahit yang masih
setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya menggempur Kuti, dan akhirnya
Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Berhenti
pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta
(daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha
yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas. Keberhasilan
Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng membawanya meraih karier
diangkat sebagai mahapatih kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang patih Gajah Mada
–yang juga panglima ahli perang di masa itu– harus menguras energi untuk
memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Pemberontakan Ronggolawe
sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri.
Bahkan salah satu
penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika
meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara
memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan
berkembangnya Islam di daerah pesisir
Kerajaan Majapahit yang
pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah
setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada